Selasa, 17 Mei 2016

Perkembangan Konvensi Internasional Pengangkutan Barang Melalui Laut

Meski tehnologi sudah berkembang, namun tidak dapat disangkal bahwa pengiriman barang melalui laut masih mendominasi perdagangan di dunia. Berdasarkan data dari United Nations Commission on Trading and Development (UNCTAD) bahwa ada sekitar 9.2 milyar ton barang yang dimuat dari berbagai pelabuhan di dunia. Angka ini di kisaran kurang lebih 90% dari total perdagangan dunia. 

Mundur ke beberapa abad ke belakang, praktis tehnologi pengiriman barang saat itu hanya dilayani satu moda angkutan, yaitu kapal laut.

Dengan mengadakan perjanjian dengan pihak pengangkut untuk mengirimkan barang, maka pihak pengirim mempercayakan keselamatan barangnya kepada pengangkut. Hal yang demikian memunculkan tanggung jawab dimana segala kerugian yang terjadi atas barang selama dalam masa pelayaran menjadi tanggung jawab pengangkut.

Berdasarkan sejarah awalnya, tanggung jawab pengangkut didasarkan pada prinsip strict liability yang menjadikannya bertanggung jawab atas setiap kerugian atau kerusakan barang meskipun pengangkut tidak melakukan kelalaian. Sehingga, pengangkut dianggap secara mutlak bertanggung jawab atas keselamatan barang yang dipercayakan kepadanya.

Pengecualian atas tanggung jawab tersebut hanya terbatas pada apa yang disebut sebagai common law exceptions, yaitu: 
  • Act of God 
  • Public enemies 
  • Inherent vice 

Seiring dengan perkembangan prinsip freedom of contract pada abad ke 19, pengangkut yang ketika itu memiliki posisi tawar yang kuat mengurangi tanggung jawab mereka dengan menghilangkan common law exceptions.

Alasan logis yang melatarbelakangi terjadinya praktek yang demikian mungkin seperti yang dijelaskan oleh H.M.N. Purwosutjipto, SH, bahwa:

“…tanggung jawab pengangkut laut sangat berat, sebab bahaya yang mengancam kapal dan muatannya di laut sangat banyak…seumpama pengangkut laut diwajibkan menanggung setiap malapetaka yang timbul di laut selama dalam pengangkutan, maka kiranya tidak ada seorang pengusaha pun yang sanggup untuk menjadi pengusaha pengangkutan di laut. Dari itu wajar bila pengangkut laut selalu berusaha untuk mengurangi tanggung jawabnya terhadap barang-barang yang diangkutnya…”

Bahkan di Atlantik Utara, pengangkut secara terang-terangan mengecualikan tanggung jawab mereka dari semua kejadian termasuk yang disebabkan oleh kelalaian, dengan memasukan apa yang dikenal sebagai “negligence clause” ke dalam bill of lading.

Pencantuman klausula ini sudah menjadi kontroversi sejak lama di antara dua kepentingan, yaitu pemilik kapal yang memonopli pengangkutan dan pemilik barang. Di negara yang berkepentingan dengan pemilik kapal, klausula ini berlaku tanpa batas dengan dalih asas kebebasan berkontrak. Sebaliknya di negara yang berkepentingan terhadap pemilik barang klausula ini dianggap invalid dengan alasan bertentangan dengan kepentingan umum. Keadaan saat itu digambarkan menciptakan situasi yang melemahkan dan dapat menghambat perdagangan dunia.

Perkembangan di atas, memicu dukungan dari seorang anggota kongres dari Ohio, negara bagian Amerika Serikat, bernama Harter, yang kebetulan sebagai pendukung kepentingan pemilik barang, untuk mengajukan rancangan undang-undang yang bertujuan melindungi kepentingan pemilik barang di AS terhadap monopoli pemilik kapal Inggris. Dengan pengaruh dari pemilik kapal, aturan tersebut diperlunak sehingga pada tanggal 13 Pebruari 1893 RUU tersebut ditetapkan menjadi UU yang dikenal dengan “Harter Act”.

Konsekwensi besar dari “Harter Act” ini adalah pelarangan – dengan mencantumkan kalimat “It shall not be lawful…” – pada pasal-pasal yang memberlakukan “negligence clause”.

"Harter Act" dianggap sebagai produk hukum pertama di dunia yang mengalokasikan risiko kerugian melalui pengangkutan laut antara pengangkut dengan pemilik barang, dan juga sebagai aturan yang menyeragamkan pembatasan posisi tawar pengangkut secara kontrak.

Seiring perjalanannya, negara Inggris memandang perlu juga adanya penyeragaman peraturan di negara-negara persemakmuran dengan menyiapkan laporan mengenai bill of lading berdasarkan riset sebelumnya yang dilakukan oleh Imperial Shipping Committee dan Maritime Law Committee pada tahun 1920.

Berdasarkan laporan ini dibuatlah juga rancangan naskah konvensi internasional untuk dibawa ke konferensi yang diadakan oleh International Law Association di Den Haag, Belanda, pada tahun 1921. Seberapa penting isu bill of lading dalam konferensi ini terlihat dari nama yang digunakan pada rancangan konvensi tersebut “Hague Rules” hingga akhirnya tiga tahun kemudian di Brussel, pada tanggal 28 Agustus 1924 diadopsi dengan nama resmi “International Concention for the Unification of Certain Rules Relating to Bills of Lading” yang mulai diberlakukan pada tahun 1931.

Sampai dengan Penulis mengakses situs resmi Committee Maritime International (CMI), ada sekitar 89 negara yang memberlakukan "Hague Rules" di negaranya baik dengan cara ratification atau accession.

Negara maritim besar seperti Inggris memberlakukan "Hague Rules" dalam bentuk "Carriage of Goods be Sea" (COGSA) Act 1924.

Untuk sekian lama, "Hague Rules" dapat diterima sebagai aturan yang menyeimbangkan kepentingan pemilik kapal dan pemilik muatan. Namun demikian, seiring perkembangan waktu dan perubahan pola perdagangan internasional dengan maraknya penggunaan kontener, dirasa perlu untuk menyesuaikan aturan.

Kesempatan itu datang pertama kali pada bulan Mei 1959 ketika CMI mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa sebagian aturan di dalam “Bill of Lading Convention 1924” tidak memuaskan. Untuk menindaklanjuti laporan ini maka dibentuklah sebuah komite yang akan melakukan riset. Berdasarkan laporan hasil penelitian tersebut diajukanlah sebuah rancangan naskah amandemen pada sidang pleno di Stockholm dan ditandatangani di kota kecil bersejarah Visby, pulau Gotland, Swedia, pada 1963.

Pada saat konferensi diplomatik internasional yang diadakan di Brussel pada Mei 1967, naskah amandemen tersebut diberikan pandangan akhir dan kemudian diadopsi dengan nama resmi “Protocol to amend the International Convention for the Unification of Certain Rules of Law Relating to Bills of Lading” pada tanggal 23 Juni 1968 atau lebih dikenal dengan sebutan “Visby Amendment” atau “Visby Rules” yang berlaku mulai tanggal 23 Juni 1977.

Negara Inggris memberlakukan "Hague-Visby Rules" melalui COGSA Act 1971.

Sampai dengan Penulis mengakses situs resmi Committee Maritime International (CMI), ada sekitar 30 negara yang memberlakukan "Visby Rules" di negaranya baik dengan cararatification atau accession.

Amandemen berikutnya terhadap "Hague-Visby Rules" dilakukan pada tanggal 21 Desember 1979 yang mengubah Pasal 4 paragraf 5 terkait pembatasan tanggung jawab pengangkut yang mengacu kepada Special Drawing Rights (SDR) yang dibuat oleh International Monetary of Fund (IMF). Oleh karenanya, "Hague-Visby Rules" hasil amandemen ini diberikan nama resmi sebagai “Protocol to Amend the International Convention for the Unification of Certain Rules Relating to Bills of Lading as Modified by the Amending Protocol of 23rd February 1968” atau lebih dikenal dengan sebutan “SDR Protocol” yang mulai berlaku pada tanggal 14 Pebruari 1984.

Sampai dengan Penulis mengakses situs resmi Committee Maritime International (CMI), ada sekitar 25 negara yang memberlakukan SDR Protocol di negaranya baik dengan cara ratification atau accession.

Terlepas dari keberhasilan amandemen pertama dan kedua, "Hague-Visby Rules" tetap meninggalkan isu penting, yang belum memuaskan banyak negara khususnya Negara berkembang karena pembahasan detil tidak memungkinkan dilakukan pada saat konferensi diplomatik, di antaranya adalah mengenai sistim tanggung jawab.

Oleh negara-negara berkembang "Hague-Visby Rules" dianggap produk negara-negara yang pernah menjajah mereka sehingga menginginkan yang lebih merefleksikan kepentingan negara-negara berkembang.

Ketidakpuasan tersebut terus berlanjut hingga pada akhirnya dibuatlah rancangan baru konvensi internasional oleh UNCTAD bekerja sama dengan United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) yang kemudian diadopsi pada konferensi internasional yang diadakan oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) pada bulan Maret 1978 di Hamburg.

Konvensi ini diberikan nama resmi sebagai “United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea” atau lebih dikenal dengan sebutan “Hambug Rules” yang mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Nopember 1992.

Pada saat tulisan ini dibuat, sudah sekitar 34 negara yang memberlakukan "Hamburg Rules" baik dengan cara ratification atau accession. Namun demikian penting untuk dicatat bahwa dari 34 negara tersebut tidak ada satu pun yang termasuk negara besar di bidang maritim atau perdagangan, termasuk Inggris, Amerika Serikat, Kanada, atau Jepang, misalnya. Faktanya, mereka hanya merepresentasikan sekitar 4% dari total tonase dunia atau 6% dari total perdagangan dunia.

Ini berarti bahwa "Hamburg Rules" tidak diterima di komunitas internasional karena sedikitnya dukungan dari negara-negara besar maritim dan perdagangan, kecuali sedikit dukungan dari negara-negara berkembang. Penjelasan-pejelasan logis atas sedikitnya dukungan ini akan Penulis coba buatkan tulisannya pada kesempatan mendatang.

Jika demikian, menurut penulis maka fakta ini bertolak belakang dengan pandangan H.M.N. Purwostujipto, SH., bahwa peranan "The Hague Rules" makin merosot dengan telah diberlakukannya "Hamburg Rules".

Bagaimana kemudian dengan posisi Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang juga sebagai negara maritim? Sangat disayangkan memang hingga saat ini tidak ada satu pun dari konvensi internasional yang sudah dibahas di atas yang diratifikasi oleh Indonesia.

Menurut pendapat Penulis, jika membaca penjelasan H.M.N. Purwostujipto, SH., di dalam bukunya, pasal-pasal di KUHD yang membahas mengenai tanggung jawab pengangkut sedikit banyaknya mengacu kepada "Hague Rules". Hal ini terlihat dari hubungan antara Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda dimana Belanda sebagai anggota International Law Association ketika itu ikut menyesuaikan undang-undang terkait pengangkutan barang melalui laut dengan "Hague Rules".

Sebenarnya ada satu lagi konvensi internasional di bidang pengangkutan barang melalui laut yang sudah mulai diratifikasi sejak tanggal 23 September 2009 di kota Rotterdam dengan nama resmi “United Nations Convention on Contracts for the International Carriage of Goods Wholly or Partly by Sea” atau lebih dikenal dengan sebutan “Rotterdam Rules”.

Namun demikian posisinya masih tetap sama bahwa Indonesia sebagai salah satu negara maritim besar belum meratifikasi konvensi tersebut.


(Dirangkum dari berbagai sumber)


(Gambar courtesy to www.lesteraldrigde.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar