Minggu, 13 Agustus 2017

Optimisme General Average Pasca YAR 2016

Sudah menjadi praktek yang umum sekarang ini bagi kebanyakan orang untuk membagi ongkos atau biaya kelompoknya secara merata.

Misalnya, sekelompok orang terdiri atas 4 individu maksi bersama, maka mereka akan membagi tagihan makannya secara merata, yaitu ¼ untuk setiap orang.

Atau sekelompok orang yang pergi/pulang kerja membagi ongkos kendaraan yang mereka tumpangi.

Praktek yang disebut di atas terlihat mudah karena pembagiannya secara merata dan yang dibagi nilai kecil.

Tapi bagaimana jika nilainya besar dan salah satunya protes karena makan cuma sedikit atau jaraknya dekat.

Nah, York-Antwerp Rules di bidang pelayaran membahas mengenai pembagian ongkos dengan berbagai sikon yang menyertainya.

Misal ada kebakaran di salah satu ruang palka kapal dengan muatan di dalamnya. Ruang palka akan disiram air untuk memadamkan api & mencegah penyebaran api ke bagian kapal lainnya. Berhasil & api padam!

ABK telah menyelamatkan kapal dan muatan di ruang palka lainnya.

Apa kerugiannya? Kerusakan muatan di ruang palka yang terdapat apinya.

Lalu, siapa yang harus mengganti kerusakan atas muatan yang terbakar atau siapa yang berhak mendapatkan ganti rugi atas pengorbanannya dalam kasus ini?

Baik pihak kapal maupun kargo memiliki kontribusi penyelamatan yang bisa berdampak lebih jika tidak dilakukan. Dalam hal seperti ini sulit menentukan siapa yang harus membayar kontribusi paling besar.

Inilah tujuan dibuatnya YAR yang mengatur di antaranya, tidak semua pengorbanan atau pengeluaran dapat dikontribusi ke pihak2 terkait.

 
YAR 2016

Pada Sidang Umum Comite’ Maritime International (CMI) di New York tanggal 6 Mei 2016, YAR 2016 disetujui oleh 42 perwakilan negara yang hadir tanpa 1 pun yang kontra atau abstain.

YAR 2016 ini adalah kulminasi dari hasil kerja International Working Group CMI selama 3 tahun, yang terdiri atas perwakilan dari Average Adjuster, Shipowner, Underwriter & PNI.

YAR dibuat pertama kali pada tahun 1860an dan secara periodik direvisi setiap interval 20 - 25 tahun.

Sejak versi pertama kali diterbitkan pada tahun 1873, sebenarnya konsep GA sudah mendapat pertentangan, misalnya menurut perwakilan Lloyd’s menyebutnya sebagai:

“A nest of fraud and abuses, a lurking place for speculation and waste”

Namun demikian, pihak2 yang kerkeinginan agar konsep GA tetap dipraktekan, konsisten & rutin melakukan riset untuk perubahan yang dipandang perlu.

Riset yang dilakukan oleh Mr Matthew Marshall dari Institute of London Underwriters (ILU) pada saat konferenai IUMI di Tokyo tahun 1994, menunjukkan fakta bahwa 10% biaya general average adalah adjuster fee dan 10% komisi lainnya (hal yang sudah dihapuskan dalam konsep GA yamg terbaru.

Atau IUMI misalnya, yang berkepentingan atas praktek GA, menyatakan bahwa sistem GA meningkatkan ongkos kecelakaan rata2 10% s/d 30%

Salah satu perubahan penting lainnya adalah keterangan mengenai nilai obyek untuk mendukung kontribusi klaim GA harus diserahkan dalam waktu 12 bulan atau jika tidak maka adjuster diberikan kebebasan untuk menaksir nilainya.

Versi sebelumnya, YAR 2004, tidak mendapat dukungan dari kalangan shipowners karena, salah satunya, tidak lagi mengakomodir crew wages ketika kapal tertahan di port of refuge setelah dilakukan GA, dan karena revisi Rule VI mengenai salvage.


NASIB YAR 2016?

Berhasil atau tidaknya YAR 2016 tergantung penerimaannya di market secara luas. Salah satu indikasinya adalah, apakah YAR 2016 akan diterima oleh BIMCO sebagai perwakilan shipping owner terbesar dunia.

Jika BIMCO menerima YAR 2016 maka akan dilekatkan ke dalam bill of lading yang digunakan oleh anggota BIMCO di seluruh dunia, hal yang tidak terjadi pada YAR 2004.

(Diolah dari berbagai sumber)

Senin, 01 Mei 2017

Politisasi Pembebasan Sandera Pembajakan

Ini tulisan saya persis setahun yang lalu, sudah diposting di status fb....


Hari Minggu, 1 Mei 2016, di tengah hiruk pikuk demo Hari Buruh, ada kabar gembira yang disampaikan oleh Presiden Jokowi di Istana Bogor.

Presiden dalam jumpa persnya mengumumkan keberhasilan upaya pembebasan 10 WNI bekas ABK tugbot "BRAHMA 12" yang disandera oleh orang2 yang diduga terhubung ke Kelompok Abu Sayyaf.

(http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160501_indonesia_wni_sandera_bebsa)

Rupanya upaya pembebasan sandera tidak luput dari politisasi, khususnya dari mereka yang mengharapkan dapat mendulang "credit point" di depan publik, mungkin untuk kepentingan tertentu.

Entah siapa yang memulai tapi menurut pengamatan penulis, berita pertama yang menulis pihak yang mengklaim ikut berjasa adalah tautan di laman ini (1 Mei 2016 jam 20.08 WIB):

(http://m.metrotvnews.com/news/peristiwa/3NOY4Jpk-tim-kemanusiaan-surya-paloh-terlibat-dalam-pembebasan-wni)

Masih di tanggal yang sama 2 jam kemudian tautan laman berita ini menginformasikan bahwa ada peran seorang pensiunan TNI, Mayor Jenderal Kivlan Zein.

(https://m.tempo.co/read/news/2016/05/01/078767560/pembebasan-10-wni-dari-abu-sayyaf-dilakukan-lewat-negosiasi)

Kalo kita baca dengan jernih tautan laman itu & beberapa tautan lainnya, sebenarnya KZ ini tidak sedang mengklaim bahwa dirinya yang turut berkontribusi ikut membebaskan sandera tapi sedang menegaskan bahwa upaya pembebasan tidak dengan uang tebusan.

Tapi mungkin karena sisa2 pemilu yang lalu masih membekas, para pengikut kelompok oposisi pemerintah yang membaca berita salah satu kelompok yang berkoalisi dengan pemerintah mengklaim atas jasa mereka, buru2 merespon dengan menyatakan keterlibatan KZ sebagai pihak yang lebih berhak disebut berjasa.

Padahal KZ sendiri tidak mengklaim dirinya paling berperan tapi memang menyebutkan sedikit kronologis yang melibatkan dirinya.

Tapi yang jelas, peran KZ memang disebut oleh Kadiv Humas Polri, Brigjen Boy Rafli Amar.

(http://nasional.kompas.com/read/2016/05/02/19061771/Polri.Sebut.Ada.Peran.Kivlan.Zen.dalam.Pembebasan.10.WNI.)

Mengapa politisasi sandera pembajakan tidak muncul di kejadian yang sama ketika kapal berbendera Indonesia "SINAR KUDUS" dibajak oleh pembajak Somalia pada masa pemerintahan SBY?

Ya jelas gak ada warga sipil yang berani mengklaim ikut berjasa karena saat itu yang dilakukan adalah gabungan opsi militer dengan uang tebusan tetap diberikan ke pembajak (opsi ini menurut Menhan saat itu Purnomo Yusgiantoro diputuskan dalam Rapat Kabinet yang dipimpin oleh Presiden SBY).

Saat terjadi pembajakan kapal "SINAR KUDUS" pemerintah SBY bukan tidak luput dari kritik. Pemerintah SBY ketika itu juga dikritik karena dinilai bergerak lamban dalam mengupayakan pembebasan sandera, hal yang dibantah oleh Menhan Purnomo Yusgiantoro saat itu.

(https://m.tempo.co/read/news/2011/05/16/078334808/eksklusif-pemerintah-lamban-bebaskan-sinar-kudus)

Dalam menyikapi aksi pembajakan ini kedua pemerintahan memang terkesan tertutup tapi karena punya alasan yang berbeda.

Dalam kasus pembajakan kapal "SINAR KUDUS" pemerintah memang harus tertutup karena yang (akan) dilakukan ada unsur aksi militer setelah mendapatkan ijin dari Dubes Somalia di Indonesia, Mahmud Olow Barow, pada tanggal 13 April 2015.

Sedangkan dalam kasus pembajakan oleh terduga Kelompok Abu Sayyaf pemerintah terkesan tertutup karena menyangkut isu yang sangat sensitif, yaitu dengan membayar uang tebusan, jika benar, ke organisasi yang dicap sebagai teroris dunia, maka Indonesia akan dituduh membiayai  atau mendanai teroris.

Kembali ke pihak-pihak yang mengklaim berperan dalam upaya pembebasan, lalu siapa yang benar?

Jawabannya tidak ada yang benar bagi pihak sini kalo itu mengutungkan pihak sana.

#viceversa

Kamis, 23 Maret 2017

Sisi Kelam Praktek Asuransi Marine

Pada bulan Maret 2000 silam, salah satu perusahaan asuransi terbesar di Amerika Serikat, AETNA secara resmi meminta maaf atas keterlibatannya dalam praktek asuransi perbudakan 150 tahun yang lalu.

Dalam hal ini, praktek yang berlangsung di AS ketika itu adalah mengasuransikan hidup budak untuk kepentingan majikannya selama bekerja sebagai buruh di pabrik tembakau di New Orleans bagian selatan.

(Catatan: ada juga data lain yang menyatakan bahwa AETNA mengasuransikan budak sebagai ‘goods’ dalam pelayaran)

Tindakan meminta maaf ini bukan dilakukan tiba2 tapi karena sebelumnya, di tahun yang sama di California, diberlakukan “Slavery Era Insurance Policies Bill” atau UU yang mengharuskan perusahaan asuransi yang beroperasi di negara bagian tersebut untuk membuka arsip polis perbudakan mereka.

Karena bisnis 'marine insurance' berkembang pesat di Inggris, ada baiknya kita mengetahui sedikit sejarah yang terjadi di Inggris.

Pada mulanya, di daratan Eropa, asuransi atas jiwa manusia dilarang, kecuali di Inggris, karena alasan yang disebut oleh Geoffrey Clark, tidak berlakunya diktum Hukum Romawi yang menyatakan hidup seseorang tidak dapat dinilai atau “hominis liberi nulla estimatio”.

Menurut salah satu prinsip asuransi yang kemudian berkembang luas, “insurable interest”, seseorang dapat mengasuransikan jiwa orang lain selama mereka dapat membuktikan adanya hubungan finansial. Prinsip ini untuk mengatasi perjudian yang sering muncul dalam penutupan atau klaim asuransi.

Tetapi sebenarnya terdapat celah dari aturan yang berlaku di Eropa, yaitu Artikel 10 dari “Ordonnance de la Marine” yang disusun oleh Colbert, salah satu menterinya Raja Louis, pada tahun 1681:

“Insurance upon the life of persons other than slaves is forbidden (Défendons de faire assurance sur la vie des personnes)”

Oleh karenanya, perbudakan pernah erat hubungannya dengan & pernah jadi sisi kelam asuransi, terutama “marine cargo insurance” (asuransi pengangkutan barang) atau dikenal juga dengan istilah “goods in transit”.

Kenapa “marine cargo insurance”?

Karena pada masa kelam tersebut, budak pernah dianggap sebagai barang sehingga dipersamakan dengan muatan (cargo) di atas kapal.

Mengenai sisi kelam ini, ada satu kasus klaim yang terkenal hingga ke pengadilan di Inggris dengan budak sebagai obyek pertanggungan cargo di atas kapal.

Kasus ini terkenal dengan nama “Zong Massacre” (Gregson v. Gilbert).

Kapal “ZONG” milik James Gregson yang dinahkodai oleh Luke Collingwood berangkat dari pantai barat Afrika pada tanggal 6 September 1781 dengan membawa 442 (catatan lain menulis 420) budak menuju Karibia.

Pada saat kapal melintasi lautan yang pada periode tertentu minim angin di Laut Atlantik, atau dikenal dengan sebutan “Doldsdrum”, kapal terombang ambing & wabah penyakit menyebar di atas kapal, sehingga menewaskan 7 dari ABK serta 62 (catatan lain menulis 50) budak.

Seminggu berikutnya, Luke Collingwood memerintahkan untuk membuang/melempar 132 budak dan 10 budak berikutnya yang sakit dengan alasan untuk mencegah penyebaran penyakit. Catatan lain menyebut alasan Luke Collingwood karena terjadi “Act of Defiance”.

Luke Collingwood merasa, dengan melakukan pembuangan properti (budak) dari atas kapal untuk menyelamatkan pelayaran, dapat diganti oleh asuransi dengan apa yang disebut sebagai "jettison".

Setibanya di Jamaika, beberapa perusahaan jual beli budak di Liverpool yang diwakili oleh Gregson lalu mengajukan klaim ke asuransi namun ditolak & dibawa ke pengadilan oleh Gregson.

Awalnya klaim ini dimenangkan oleh Gregson di pengadilan rendah Jamaika pada tahun 1782, namun Gilbert naik banding ke pengadilan tinggi di Great Britain, dan menang.

Di Inggris, praktek perdagangan budak secara resmi dihentikan pada tahun 1807 oleh Parlemen, dengan ‘turning point' dari kasus “The Zong” meskipun tidak ada yang berubah dengan konsep hukum asuransinya.

Adapun kisah pengadilan kasus klaim asuransi budak yang dipimpin oleh Lord Mansfield diperagakan dalam film berjudul “Belle” yang dirilis di Inggris pada tanggal 13 Juni 2014.


(Dirangkum dari berbagai sumber)




Selasa, 14 Maret 2017

Peristiwa Kandasnya Kapal Pesiar "CALEDONIAN SKY" dan Rusaknya Terumbu Karang

Masih hangat di kalangan maritim, baik nasional maupun internasional, termasuk juga pengamat lingkungan, perihal kandasnya sebuah kapal pesiar berbendera Bahama “CALEDONIAN SKY” di perairan Raja Ampat, Papua Barat, pada tanggal 4 Maret 2017 yang lalu.

Yang menjadi concern pemerintah & pengamat lingkungan adalah kandasnya kapal pesiar ini merusak kurang lebih 13.500 m2 terumbu karang tepat di pusat keanekaragaman hayati terbesar di dunia.

Kapal pesiar “CALEDONIAN SKY” bernomor IMO 8802870 ini dimiliki & dioperasikan oleh operator wisata berbasis di Inggris, Noble Caledonia & saat itu sedang membawa 102 turis mancanegara usai acara di Waigeo.

Kapal pesiar ini sudah berhasil lepas dari kandas dengan bantuan tugboat & sudah melanjutkan perjalanan ke Filipina. Menurut informasi kapal hanya menderita kerusakan minor akibat kandas & tidak menganggu kelaiklautannya.

Muncul pertanyaan bagaimana konsekwensi atau akibat hukum dari kerusakan lingkungan alam yang sangat berharga bagi Indonesia tersebut?

Pemerintah Indonesia saat ini sedang berkoordinasi untuk menggugat ganti rugi pemilik kapal “CALEDONIAN SKY” dengan membentuk tim gabungan dari lembaga terkait yang akan meneliti aspek perdata dan pidananya.

Sesuai dengan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusakan kekayaan alam seperti terumbu karang, dapat diancam hukuman pidana penjara.

Lembaga Research Center for Pacific Marine Resources merekomendasikan perusahaan pelayaran memberikan ganti rugi sebesar USD 800 - USD 1,200 per m2, dengan total kerugian mencapai kira2 USD 1,28 juta - USD 1.92 juta. Ini mungkin belum termasuk tuntutan hukum dari masyarakat setempat yang merasa dirugikan dengan rusaknya terumbu karang di wilayah mereka.

Dari aspek perdata, bagaimana melihatnya dari konteks asuransi, jika kebetulan pemilik kapal memiliki polis rangka kapal (Hull & Machinery) dan P&I, apakah ganti rugi yang timbul serta tanggung jawab pemilik kapal dapat dikompensasi dari polis asuransi?

1. Kerusakan Fisik Kapal

Hanya berdasarkan informasi yang tersebar, bahwa kapal hanya mengalami kerusakan minor akibat kandas & masih dapat melanjutkan pelayaran ke Filipina.

2. Biaya Pengapungan

Biaya yang dikeluarkan untuk mengapungkan kapal dari kandas dapat diklaim ke polis H&M, sepanjang dapat dibuktikan bahwa kandasnya bersifat “accidental” & kemungkinan besar sebagai klaim sue & labor, kecuali terbukti ada barang perdagangan yang dibawa kapal & ikut menikmati upaya penyelamatan.

3.Tanggung Jawab Hukum atas Kerusakan Terumbu Karang

Polis standar H&M tidak menjamin tanggung jawab yang muncul dari kerusakan terhadap “fixed and floating object”.

Terumbu karang sudah pasti bukan termasuk “floating object”, tapi di sisi lain, apakah termasuk dalam “fixed object”?

Sejatinya, perluasan risiko “Fixed and Floating Object (FFO)” memang bukan produk asuransi M&H, tapi produk P&I meski sering digunakan sebagai perluasan dalam polis standar M&H.

Jadi untuk mengetahui sejauh mana cakupan “fixed object” maka kita harus melihat lihat jaminan yang diberikan dalam Protection & Indemnity (P&I).

Polis dari salah satu perusahaan P&I terbesar di dunia, Standard Club, menjamin “liability” yang timbul dari kerusakan “coral reef” sebagai “damage to fixed object”.

Atau polis yang diterbitkan Gard, salah satu club P&I terbesar Eropa yang berbasis di Norwegia, menyebutkan bahwa yang termasuk “fixed object” adalah “coral reef”.

Jadi untuk tanggung jawab atas kerusakan terumbu karang kemungkinannya ada 2 cara:

(i) Diklaim berdasarkan polis P&I dimana FFO merupakan jaminan standar; atau

(ii) Diklaim dari polis H&M jika pemilik kapal membeli “FFO” untuk memperluas Klausula 8 “Collision Liability”.

Semoga bermanfaat.












Semoga bermanfaat.

Hugo Grotius versus Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja

Nama Hugo Grotius sudah tidak asing lagi bagi mereka yang mempelajari hukum internasional, karena Hugo Grotius atau Hugo de Groot dianggap oleh banyak kalangan sebagai Bapak Hukum Internasional.

Misalnya Hamilton Vreeland, seorang guru & pengacara di Amerika Serikat pada tahun 1917, yang menulis "Hugo Grotius: The Father of the Modern Science of International Law"

Bahkan hingga kini, The American Society of International Law terus menggelar acara tahunan Grotius Lecture dan The Peace Palace Library di Den Haag untuk menghormatinya.

Namun demikian jika melihat sisi lain seorang Grotius, ada juga yang berpendapat bahwa Grotius sebenarnya bukan pemikir hukum tapi tidak lebih hanya sebagai pengacara yang bekerja berdasarkan pesanan klien belaka.

Ini dibuktikan dari argumentasinya yang terkenal "Mare Liberum" (Laut Bebas).

Argumentasi tersebut disampaikannya pada saat ia bekerja sebagai pengacara untuk & disewa oleh VOC, untuk melawan justifikasi penguasaan dunia yang telah dilakukan lebih dulunoleh Portugal dengan argumentasi "Mare Clausum" (Laut Tertutup).

Menurut Grotius, bahwa laut seperti juga udara, bebas digunakan oleh umat untuk keperluan navigasi dan perikanan.

Sepintas, pemikiran Grotius ini adalah cerminan sikap liberal yang memihak pada kebebasan, namun pada kenyataannya Grotius adalah seorang yang mendukung perbudakan & penjajahan.

Penjajahan Belanda atas Indonesia (dulu Nusantara) juga tidak kurang atas kontribusi pemikiran Grotius.

Dampak jangka panjang argumentasi Grotius terhadap kedaulatan Indonesia adalah bahwa meskipun Indonesia sudah memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka tapi karena Laut Jawa masih dianggap sebagai perairan Internasional maka kapal2 Belanda masih tetap bebas berlalu lalang.

Pada akhirnya, menurut Arif Havas Oegroseno (Deputi Kedaulatan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman RI), yang menghentikan "penjajahan" Grotius terhadap  kedaulatan di atas lautan Indonesia adalah Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, seorang ahli hukum internasional pertama yang dimiliki Indonesia.

Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja mengajukan konsepsi negara kepulauan Indonesia di depan Sidang Kabinet pada tanggal 13 Desember 1957 di kantor PM Djuanda.

Pengajuan konsepsi ini didorong oleh Chaerul Slaeh yang gusar atas lalu lalangnya kapal perang milik Belanda "DRENTE" di Laut Jawa.

Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja mendasarkan konsepsinya dari:

1. Hasil pertemuan pakar hukum internasional di International Law Commission tanggal 30 April 1949 s/d 4 Juli 1949, yang melarang lebar laut teritorial lenih dari 12 mil laut.

2. Keputusan Mahkamah Internasional dalam Sengketa Perikanan Inggris dan Norwegia tahun 1951, yang menegaskan bahwa negara2 dengan pantai menjorok atau dengan pulau2 kecil dapat menarik garis lurus dari titik terluar pantai.

3. Klaim unilateral Filipina pada tahun 1955 bahwa semua perairan di antara dan yang membentangkan pulau2 Filipina berada dalam kedaulatan Filipina.

Perjuangan Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja ini akhirnya diterima oleh masyarakat dunia dan disahkan sebagai Konstitusi Kelautan Dunia pada Konvensi Hukum Laut Ke-III tanggal 10 Desember 1982 sehingga menciptakan Hukum Laut yang baru.

Ahhh....saya bangga jadi orang Indonesia!

Ahhh....saya kepingin jadi ahli hukum maritim (mimpi dulu, hehehe....)!



(Disarikan dari tulisan Arif Havas Oegroseno di Harian Pikiran Rakyat, 14 Maret 2017)

Minggu, 12 Maret 2017

Perbandingan Singkat Hague-Visby Rules dan Hamburg Rules

Sebelum diberlakukannya “The Rotterdam Rules 2008” (United Nations Convention on Contracts for the International Carriage of Goods Wholly or Partly by Sea), ada 3 rezim aturan internasional yang terkait dengan pengangkutan barang melalui laut, yaitu:

  • The Hague Rules 1924 (International Convention for the Unification of Certain Rules of Law relating to Bills of Lading)

  • The Visby Rules atau Hague-Visby Rules (HVR) 1968 (Brussels Protocol of 1968 amending the Brussels 
    Convention of 1924)

  • Hamburg Rules (HR) 1978 (United Nation Convention on The Carriage of Goods by Sea)

Dibanding 2 pendahulunya, HR yang merupakan produk PBB, lebih mengakomodasi kepentingan pihak pemilik barang (cargo owner) atau pengirim barang (shipper)

Negara yang meratifikasinya pun umumnya negara2 berkembang, yang punya porsi kecil terhadap kepentingan barang.

Mungkin, oleh karena faktor inilah, salah satunya, HR dianggap sebagai produk “gagal” oleh sebagian pengamat dan/atau praktisi hukum maritim.

Hingga saat ini pun banyak pihak pengangkut (carrier) di negara maritim di dunia yang lebih memilih menggunakan HR atau HVR di dalam bill of lading yang mereka gunakan.

Sebagai produk awal di bidang keseragaman aturan bill of lading, Hague Rules dianggap sebagai produk yang revolusioner namun dilakukan sedikit revisi dan diakomodir dalam HVR. Sementara perubahan signifikan terlihat antara HVR dengan HR.

Tulisan singkat ini dibuat untuk mengetahui sedikit perbedaan antara rezim aturan internasional yang diatur dalam HVR dengan HR.

1. Pemberlakuan (Applicability)

HVR: Berlaku untuk kontrak pengangkutan barang via laut YANG DIBUKTIKAN dengan BILL OF LADING atau yang sama dengan “document of title”, antar pelabuhan di negara yang berbeda.

HR: Berlaku untuk SEMUA kontrak pengangkutan barang via laut antara dua negara.

2. Kargo di Atas Palka (Deck Cargo)

HVR: Jika barang ternyata dimuat di atas palka & ditulis di dalam bill of lading, maka barang tersebut dikecualikan dari Rules.

HR: Pihak pengangkut berhak untuk memuat barang di atas palka hanya jika sesuai kesepakatan dengan pihak pengirim atau sesuai peruntukkannya, atau sesuai aturan, dan harus ditulis di dalam bill of lading.

3. Periode Berlakunya

HVR: Mulai berlaku sejak saat barang dimuat ke atas kapal dan berakhir saat barang dibongkar dari kapal (“From Tackle to Tackle”).

HR: Mulai berlaku sejak barang berada dalam custody pihak pengangkut di pelabuhan muat, selama dalam pengangkutan dan di pelabuhan bongkar.

4. Pengertian Pihak Pengangkut (Carrier)

HVR: Pihak pengangkut termasuk pemilik (owner), atau pencharter (charterer) yang berkontrak dengan pihak pengirim (shipper).

HR: Pihak pengangkut termasuk pengangkut aktual (actual carrier) yang di antaranya termasuk setiap orang yang dipercayakan oleh pengangkut untuk melaksanakan seluruh atau sebagian pengangkutan barang.

5. Kekebalan Pihak Pengangkut (Carrier’s Immunity)

HVR memberikan daftar pengecualian yang luas untuk kepentingan pengangkut, sesuai Artikel IV (I) butir (i) s/d (xviii).

HR tidak memberikan daftar pengecualian yang luas kecuali 3 yang menguntungkan pihak pengangkut, yaitu:

(i) Ternak hidup
(ii) Deviasi
(iii) Kebakaran

6. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut

HVR: Batas tanggung jawabnya sebesar 666.67 SDR per koli atau 2 SDR per kg, yang mana yang tertinggi.

HR: Batas tanggung jawabnya 835 SDR per koli atau 2.5 SDR per kg mana yang paling tinggi.

7. Porsi Tanggung Jawab

HVR: Tidak ada aturannya

HR: Jika kesalahan atau kelalaian ada di pihak pengangkut, pelayannya atau agennya, berkombinasi dengan penyebab lain, pihak pemgamgkut bertanggung jawab hanya sebatas kerugian yang dikarenakan kesalahan atau kelalaiannya.

8. Batas Waktu Notifikasi Kerugian/Klaim

HVR: Notifikasi harus disampaikan secara tertulis ke pihak pengangkut atau agennya di pelabuhan bongkar sebelum serah terima, atau jika kerusakannya laten, 3 hari setelah serah terima.

HR: Notifikasi harus disampaikan secara tertulis ke penerima barang atau pengangkut tidak lebih dari 1 hari setelah barang diterima oleh penerima barang, atau jika kerusakannya laten, dalam waktu 15 hari setelah diterim oleh penerima barang.


9. Batas Waktu Litigasi


HVR: Jika ingin mengajukan tuntutan ke pengadilan, harus diajukan dalam waktu 1 tahun sejak tanggal serah terima barang atau sejak tanggal seharusnya barang telah diserahterimakan.

HR: Batas waktu pengajuan ke pengadilan selama 2 tahun sejak tanggal serah terima barang atau sejak tanggal seharusnya barang telah diserahterimakan.

Sementara itu, di dalam bukunya, “Shipping Law”, edisi ke-4, Simon Baughen menuliskan beberapa perubahan signifikan di Hamburg Rules dari skema yang diadopsi oleh Hague-Visby Rules, yaitu:

  1. HR mencakup periode penuh tanggung jawab pengangkut berdasarkan “port to port” berbeda dengan HVR yang hanya membatasi hanya “tackle to tackle”.
  2. HR berlaku untuk semua kontrak pengangkutan laut, kecuali “charter party”, berbeda dengan HVR yang membatasi hanya berlaku terhadap “bill of lading” atau dokumen lain yang sejenis dengan “document of title”.
  3. Pemberlakuan tanggung jawab ke kedua pihak “contracting carrier” dan “actual carrier” dalam HR mengurangi masalah yang terasosiasi dengan identifikasi pengangkut tunggal dalam HVR.
  4. HR berlaku wajib ke pengangkutan “Contracting State” tidak hanya pengangkutan dari “Contracting State”.
  5. HR mengatur ketentuan mengenai yurisdiksi & arbitrase, serta hubungan HR dengan konvensi internasional lainnya.
  6. Hamburg Rules mengadopsi sistem tanggung jawab yang seragam, berdasarkan “presumed fault” bertentangan dengan sistem tanggung jawab bertingkat yang diadopsi oleh Hague Rules, dengan segala implikasinya mengenai alokasi beban pembuktian.


Penjelasan mengenai komparasi yang lebih luas & detil masih digarap, mudah2an bisa dirilis di lain kesempatan.

Semoga bermanfaat.


Senin, 30 Januari 2017

Pilihan Sulit Pengusaha Kapal: Dapat Ganti Rugi Asuransi Hanya Sebagian atau Kehilangan Bisnis

Suatu ketika A (pemilik barang) datang ke B (pemilik kapal) untuk mengadakan perjanjian pengiriman barang.

Yang disepakati oleh keduanya adalah bahwa A akan membayar sejumlah uang tertentu kepada B sebagai ongkos angkut (freight), sedangkan B yang menerima freight dari A berjanji akan mengirim barang milik A dengan selamat sampai tujuan.

Dalam perjalanannya A kemudian menerima kabar dari B bahwa kapal yang membawa barang milik A mengalami musibah kandas dalam bentuk General Average Declaration & akan segera dilakukan penyelamatan.

Pada akhirnya upaya penyelamatan tersebut berhasil dilakukan, atas rekomendasi dari perusahaan asuransi tempat B membeli polis marine hull, maka A diminta untuk ikut kontribusi atau urunan biaya penyelamatan yang akan/telah dibayarkan oleh B.

Mendapatkan permintaan yang demikian, A meradang & merespon balik bahwa sesuai kesepakatan sebelumnya B berjanji akan mengirim barang milik A selamat sampai tujuan. Pada kenyataannya B gagal memenuhi janjinya, yang dari kaca mata awam A dianggap wanprestasi, kok B malah meminta A ikut kontribusi menanggung biaya penyelamatan?

Sebenarnya, B pun sempat bereaksi keras saat awal terima rekomendasi. Dari kaca mata awam B sebagai pengusaha, sudah pula sulit mendapatkan pelanggan untuk kelangsungan bisnisnya, namun begitu dapat pelanggan yang mau menggunakan jasanya tapi saat terjadi musibah kok malah diminta kontribusi?

Reaksi umum lainnya yang biasanya ditemui dalam contoh kasus di atas adalah bagi B, lebih baik bersikeras mendapatkan ganti rugi penuh dari perusahaan asuransi daripada kehilangan pelanggan gara2 diminta kontribusi.

Inilah salah satu alasan utama mengapa konsep "general average" banyak ditentang & ditantang untuk dihapuskan.

Untuk sementara ini, pendukung praktek general average dapat bernafas lega karena terselamatkan dengan digunakannya "Small GA Clause" atau "GA Absoprtion Clause".


Semoga bermanfaat.


(Pokoknya) Kaca Mata Kuda

Suatu ketika, seorang kolega dari bagian klaim asuransi menyatakan ketidaksetujuannya dengan rekomendasi adjuster yang sebenarnya sudah dikonsultasikan dengan Technical Advisor di London, seorang praktisi senior yang sudah sangat berpengalaman & salah satu dari sedikit average adjuster dengan predikat "fellow" di dunia.

Karenanya approval dari TA, maka saya sebagai handling adjuster saat itu, cukup pede ketika dipanggil rapat untuk membahas isu yang akan disanggah.

Hari H, tidak tanggung2, selain kolega tersebut, saya juga dihadapkan oleh 2 orang atasannya.

Setelah dijelaskan panjang lebar dasar rekomendasi adjuster & referensi yang sebenarnya tidak bisa dibantah secara konsep, muncullah kata sakti dari salah seorang atasan tersebut, yang dah di luar konteks pembahasan, alias gak mau tau lagi konsep marine insurance law atau common practice menurut adjuster, dengan mengatakan:

"POKOKNYA kita gak setuju menggunakan yurisprudensi".

(Catatan: tidak ada yang berubah dengan "choice of law" di polis yang digunakan, masih sesuai aslinya "subject to English Law & Jurisdiction")

Harus sedikit memutar otak untuk menjawab pernyataan yang di luar dugaan, akhirnya saya coba jelaskan lagi dengan analogi:

"Jika Asuransi ngotot pokoknya tidak mau terima yurisprudensi, kalo gitu harus konsisten, klaim2 kandas atau tabrakan yang tidak melanggar T&C harus ditolak!"

Si claim officer & 2 orang atasannya bingung & salah satunya membantah, jika sudah sesuai T&C maka Asuransi harus bayar klaimnya.

Saya tanya balik, atas dasar apa Asuransi harus bayar?

Lalu dijawab oleh sang atasan...karena kandas atau tabrakan dijamin polis.

Saya tanya lagi...di mana dari bagian polis atau klausula mana yang bilang klaim kandas atau tabrakan dijamin?

Dijawab oleh sang atasan...ada di Klausula 6.

Dalam hati saya...nah, kena jebakan 'batman' yang saya buat nih!

Dengan senang hati saya perlihatkan polisnya & saya tantang lagi...coba tunjukkan di Klausula 6, mana yang bilang kalo kandas atau tabrakan dijamin polis?

Ketiga PIC Asuransi tersebut hanya diam saja tidak bisa menjawab.

Argumentasi saya:

Di polis marine hull, memang betul "stranded" atau "grounded" dan "collision" tidak disebut sebagai penyebab kerugian yang dijamin dalam Klausula 6.

Klausula 6.1 hanya menyebut "perils of the sea", lalu dimana melihat kaitannya dengan risiko "stranded" atau "grounded" dan "collision" sebagai penyebab?

Menurut case law yang ada di Inggris & tetap dijadikan rujukan hingga kini, "a fortuitous stranding is a peril of the sea" ("Fletcher v. Inglis", 1819).

Demikian pula dengan "collision", dalam kasus "The Xantho (1887)" dinyatakan sebagai "peril of the sea".

Pesan moralnya adalah...silahkan tidak sependapat tapi kemukakan argumentasinya & konsisten, bukan berdasarkan kata sakti "POKOKNYA"!

Hal ini sama dengan praktek yang (masih) dilakukan oleh beberapa kolega yang memahami polis menggunakan "kaca mata kuda" atau hanya mau melihat apa yang tertulis di polis saja.

Padahal jika sudah sepakat dengan "English Law" sebagai "choice of law" di dalam polis, maka suka atau tidak suka kita harus juga merujuk ke aturan yang tidak tertulis di polis, yaitu yurisprudensi atau putusan hukum oleh pengadilan untuk kasus yang sama, sepanjang itu "still a good law" & belum dianulir oleh kasus hukum berikutnya.

Hal ini penting untuk dipahami karena polis tidak menuangkan semua hal yang diatur dalam klausula2 secara detil.

Yang juga penting, klausula2 di dalam polis umumnya tidak berdiri sendiri, sebagian besar bersumber dari yurisprudensi.

Jadi, sebaiknya tinggalkan kebiasaan total menggunakan kaca mata kuda dalam melihat hal2 apa saja yang dijamin di dalam polis, kecuali mungkin yang sudah terang benderang.

Disarikan dari pengalaman sebagai adjuster & semoga bermanfaat.

Make It Simple: Alat Angkut Harus Mengalami "Accident"

Polis asuransi marine cargo yang populer di international market saat ini adalah “Institute Cargo Clause” terbitan tahun 1982 atau biasa ditulis ICC 1/10/82.

Sebenarnya sudah ada polis terbaru yang biasa disebut “Revised version” terbitan tahun 2009 atau ICC 1/1/2009, tapi pengguna polis tahun 1982 juga tetap banyak.

Dari segi luas jaminan, baik edisi 1/1/82 atau 1/1/2009, polis ICC (C) adalah polis dengan jaminan yang paling sempit karena risiko-risiko penyebabnya yang ditulis dalam Klausula 1 hanya sekitar 11 macam risiko, yaitu:

1.1.1 fire or explosion
1.1.2 vessel or craft being stranded grounded sunk or capsized
1.1.3 overturning or derailment of land conveyance
1.1.4 collision or contact of vessel craft or conveyance with any external object other than water
1.1.5 discharge of cargo at a port of distress,
1.2.1 general average sacrifice
1.2.2 jettison.


Meski mayoritas pengirim/pemilik barang sekarang ini sudah relatif ‘melek’ asuransi jadi sedapat mungkin mendapatkan jaminan paling luas, ICC (A), terutama broker untuk kepentingan kliennya, tapi, bukan berarti polis ICC (C) tidak ada yang menggunakan karena banyak juga barang yang dikirim menggunakan jenis kapal tertentu hanya dapat diberikan proteksi dengan polis ICC (C).

Adapun polis ICC (A) rasanya tidak terlalu sulit untuk dipahami.

Lalu bagaimana memudahkan pembedaan luas jaminan polis ICC (C) dengan (B)?

Simpel saja, cukup dijawab bahwa untuk bisa dijamin dengan polis ICC (C) maka “alat angkutnya harus mengalami accident”.

Benarkah demikian?

Kita analisa singkat satu per satu risiko penyebabnya:
  • “fire” atau “explosion”, sudah pasti alat angkutnya yang terbakar atau meledak karena jika barangnya yang terbakar atau meledak sendiri akan mengarah ke sifat natural barang itu (inherent vice).
  • “stranded”, “grounded”, “sunk” atau “capsized” sudah diperjelas dengan menyebut alat angkut di awal kalimat.
  • “overturning or derailment…” yang diikuti alat angkut sudah cukup menegaskan.


Risiko penyebab lainnya (1.1.4), (1.1.5), (1.2.1) dan (1.2.2) juga menegaskan bahwa alat angkutnya harus mengalami accident.

Berbeda dengan polis ICC (B) dimana di dalamnya ada beberapa risiko penyebab yang tidak mengharuskan alat angkut mengalami accident, misalnya:

1.1.5 earthquake, volcanic eruption or lightning
1.2.3 entry of sea, lake or river water into vessel…etc.
1.3 total loss of any package or lost overboard...etc.


Jadi, cukup mudah memahaminya bukan?


Semoga bermanfaat!

Minggu, 29 Januari 2017

Sengketa Asuransi: Pengadilan atau Arbitrase?

Kegiatan bisnis selalu menimbulkan potensi sengketa (dispute) antara para pihak yang terlibat, termasuk di bisnis asuransi.

Jika terjadi dispute, para pihak secepat mungkin ingin mendapatkan penyelesaian masalahnya karena keterlambatan berarti gangguan pada kelangsungan bisnisnya, minimal nama baik perusahaan akan terdampak.

Penyelesaian sengketa melalui proses litigasi terbukti memakan waktu lama, relatif memakan biaya & dengan persidangan yang terbuka maka berpotensi menjadi sorotan publik.

Alternatifnya adalah melalui forum arbitrase, yang dapat berupa:
  1. Kausula yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa
  2. Dibuat suatu perjanjian Arbitrase tersendiri oleh para pihak setelah timbul sengketa.


Klausula arbitrase ini adalah ruhnya forum arbitrase itu sendiri karena klausula inilah yang akan menentukan apakah suatu sengketa dapat diterima untuk diselesaikan melalui forum arbitrase atau tidak.

Sesuai ketentuan Pasal 2, 3 dan 11 UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa dengan adanya perjanjian arbitrase, tempat pilihan penyelesaian sengketa yang berwenang atau berkompeten untuk menyelesaikan suatu sengketa adalah lembaga arbitrase. Dengan kalimat lain, kompetensi absolut arbitrase ditentukan oleh klausula atau perjanjian arbitrase.

Ini artinya, jika di dalan perjanjian pertanggungan atau polis asuransi dilekatkan klausula arbitrase maka para pihak yaitu penanggung dan tertanggung sudah sepakat bahwa jika terjadi suatu sengketa dikemudian hari, maka sengketa tersebut akan diselesaikan melalui arbitrase, apabila penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai.

Dikaitkan dengan sengketa asuransi, jika kontrak polis dilekatkan dengan klausula arbitrase maka pengadilan tidak memiliki kompetensi untuk mengadili sengketa klaim asuransi karena klausula arbitrase merupakan salah satu kesepakatan para pihak yang dituangkan ke dalam perjanjian & mengikat bagi pihak2 yang berkontrak sesuai asas pacta sund servanda.

Di yurisdiksi Indonesia, kebetulan sudah ada putusan pengadilan yang mengimplementasikan UU Arbitrase dalam bidang asuransi, misalnya putusan PN Jakarta Utara No 186/Pdt.G/2007/PN.JKT.UT mengenai sengketa yang timbul dari sengketa polis BI (Business Interruption) yang diterbitkan oleh PT. ASURANSI JAYA PROTEKSI (JAPRO).

Menurut Hakim di persidangan, penyelesaian sengketa harus ditempuh melalui lembaga arbitrase dengan pertimbangan terdapatnya klausula arbitrase di dalam polis.

Tapi sebelum muncul sengketa polis BI JAPRO, sudah ada kasus lain dengan putusan yang berbeda, yaitu sengketa dari polis Property All Risks yang diterbitkan oleh PT. ASURANSI HANJIN KORINDO dimana PN Jakarta Selatan tetap menerima untuk menyelesaikan sengketa dengan Putusan No 490/Pdt.G/2002/PN.JAK.SEL.

Padahal, di kedua polis, baik yang diterbitkan oleh JAPRO dan HANJIN terdapat Klausula Arbitrase yang sama.

Di sinilah kita melihat belum konsistennya sesama korps penegak hukum di negara kita, yang berdampak pada ketidakpastian hukum & ujung-ujungnya dapat berpotensi merugikan pelaku asuransi atau konsumen.