Kamis, 23 Maret 2017

Sisi Kelam Praktek Asuransi Marine

Pada bulan Maret 2000 silam, salah satu perusahaan asuransi terbesar di Amerika Serikat, AETNA secara resmi meminta maaf atas keterlibatannya dalam praktek asuransi perbudakan 150 tahun yang lalu.

Dalam hal ini, praktek yang berlangsung di AS ketika itu adalah mengasuransikan hidup budak untuk kepentingan majikannya selama bekerja sebagai buruh di pabrik tembakau di New Orleans bagian selatan.

(Catatan: ada juga data lain yang menyatakan bahwa AETNA mengasuransikan budak sebagai ‘goods’ dalam pelayaran)

Tindakan meminta maaf ini bukan dilakukan tiba2 tapi karena sebelumnya, di tahun yang sama di California, diberlakukan “Slavery Era Insurance Policies Bill” atau UU yang mengharuskan perusahaan asuransi yang beroperasi di negara bagian tersebut untuk membuka arsip polis perbudakan mereka.

Karena bisnis 'marine insurance' berkembang pesat di Inggris, ada baiknya kita mengetahui sedikit sejarah yang terjadi di Inggris.

Pada mulanya, di daratan Eropa, asuransi atas jiwa manusia dilarang, kecuali di Inggris, karena alasan yang disebut oleh Geoffrey Clark, tidak berlakunya diktum Hukum Romawi yang menyatakan hidup seseorang tidak dapat dinilai atau “hominis liberi nulla estimatio”.

Menurut salah satu prinsip asuransi yang kemudian berkembang luas, “insurable interest”, seseorang dapat mengasuransikan jiwa orang lain selama mereka dapat membuktikan adanya hubungan finansial. Prinsip ini untuk mengatasi perjudian yang sering muncul dalam penutupan atau klaim asuransi.

Tetapi sebenarnya terdapat celah dari aturan yang berlaku di Eropa, yaitu Artikel 10 dari “Ordonnance de la Marine” yang disusun oleh Colbert, salah satu menterinya Raja Louis, pada tahun 1681:

“Insurance upon the life of persons other than slaves is forbidden (Défendons de faire assurance sur la vie des personnes)”

Oleh karenanya, perbudakan pernah erat hubungannya dengan & pernah jadi sisi kelam asuransi, terutama “marine cargo insurance” (asuransi pengangkutan barang) atau dikenal juga dengan istilah “goods in transit”.

Kenapa “marine cargo insurance”?

Karena pada masa kelam tersebut, budak pernah dianggap sebagai barang sehingga dipersamakan dengan muatan (cargo) di atas kapal.

Mengenai sisi kelam ini, ada satu kasus klaim yang terkenal hingga ke pengadilan di Inggris dengan budak sebagai obyek pertanggungan cargo di atas kapal.

Kasus ini terkenal dengan nama “Zong Massacre” (Gregson v. Gilbert).

Kapal “ZONG” milik James Gregson yang dinahkodai oleh Luke Collingwood berangkat dari pantai barat Afrika pada tanggal 6 September 1781 dengan membawa 442 (catatan lain menulis 420) budak menuju Karibia.

Pada saat kapal melintasi lautan yang pada periode tertentu minim angin di Laut Atlantik, atau dikenal dengan sebutan “Doldsdrum”, kapal terombang ambing & wabah penyakit menyebar di atas kapal, sehingga menewaskan 7 dari ABK serta 62 (catatan lain menulis 50) budak.

Seminggu berikutnya, Luke Collingwood memerintahkan untuk membuang/melempar 132 budak dan 10 budak berikutnya yang sakit dengan alasan untuk mencegah penyebaran penyakit. Catatan lain menyebut alasan Luke Collingwood karena terjadi “Act of Defiance”.

Luke Collingwood merasa, dengan melakukan pembuangan properti (budak) dari atas kapal untuk menyelamatkan pelayaran, dapat diganti oleh asuransi dengan apa yang disebut sebagai "jettison".

Setibanya di Jamaika, beberapa perusahaan jual beli budak di Liverpool yang diwakili oleh Gregson lalu mengajukan klaim ke asuransi namun ditolak & dibawa ke pengadilan oleh Gregson.

Awalnya klaim ini dimenangkan oleh Gregson di pengadilan rendah Jamaika pada tahun 1782, namun Gilbert naik banding ke pengadilan tinggi di Great Britain, dan menang.

Di Inggris, praktek perdagangan budak secara resmi dihentikan pada tahun 1807 oleh Parlemen, dengan ‘turning point' dari kasus “The Zong” meskipun tidak ada yang berubah dengan konsep hukum asuransinya.

Adapun kisah pengadilan kasus klaim asuransi budak yang dipimpin oleh Lord Mansfield diperagakan dalam film berjudul “Belle” yang dirilis di Inggris pada tanggal 13 Juni 2014.


(Dirangkum dari berbagai sumber)




Selasa, 14 Maret 2017

Peristiwa Kandasnya Kapal Pesiar "CALEDONIAN SKY" dan Rusaknya Terumbu Karang

Masih hangat di kalangan maritim, baik nasional maupun internasional, termasuk juga pengamat lingkungan, perihal kandasnya sebuah kapal pesiar berbendera Bahama “CALEDONIAN SKY” di perairan Raja Ampat, Papua Barat, pada tanggal 4 Maret 2017 yang lalu.

Yang menjadi concern pemerintah & pengamat lingkungan adalah kandasnya kapal pesiar ini merusak kurang lebih 13.500 m2 terumbu karang tepat di pusat keanekaragaman hayati terbesar di dunia.

Kapal pesiar “CALEDONIAN SKY” bernomor IMO 8802870 ini dimiliki & dioperasikan oleh operator wisata berbasis di Inggris, Noble Caledonia & saat itu sedang membawa 102 turis mancanegara usai acara di Waigeo.

Kapal pesiar ini sudah berhasil lepas dari kandas dengan bantuan tugboat & sudah melanjutkan perjalanan ke Filipina. Menurut informasi kapal hanya menderita kerusakan minor akibat kandas & tidak menganggu kelaiklautannya.

Muncul pertanyaan bagaimana konsekwensi atau akibat hukum dari kerusakan lingkungan alam yang sangat berharga bagi Indonesia tersebut?

Pemerintah Indonesia saat ini sedang berkoordinasi untuk menggugat ganti rugi pemilik kapal “CALEDONIAN SKY” dengan membentuk tim gabungan dari lembaga terkait yang akan meneliti aspek perdata dan pidananya.

Sesuai dengan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusakan kekayaan alam seperti terumbu karang, dapat diancam hukuman pidana penjara.

Lembaga Research Center for Pacific Marine Resources merekomendasikan perusahaan pelayaran memberikan ganti rugi sebesar USD 800 - USD 1,200 per m2, dengan total kerugian mencapai kira2 USD 1,28 juta - USD 1.92 juta. Ini mungkin belum termasuk tuntutan hukum dari masyarakat setempat yang merasa dirugikan dengan rusaknya terumbu karang di wilayah mereka.

Dari aspek perdata, bagaimana melihatnya dari konteks asuransi, jika kebetulan pemilik kapal memiliki polis rangka kapal (Hull & Machinery) dan P&I, apakah ganti rugi yang timbul serta tanggung jawab pemilik kapal dapat dikompensasi dari polis asuransi?

1. Kerusakan Fisik Kapal

Hanya berdasarkan informasi yang tersebar, bahwa kapal hanya mengalami kerusakan minor akibat kandas & masih dapat melanjutkan pelayaran ke Filipina.

2. Biaya Pengapungan

Biaya yang dikeluarkan untuk mengapungkan kapal dari kandas dapat diklaim ke polis H&M, sepanjang dapat dibuktikan bahwa kandasnya bersifat “accidental” & kemungkinan besar sebagai klaim sue & labor, kecuali terbukti ada barang perdagangan yang dibawa kapal & ikut menikmati upaya penyelamatan.

3.Tanggung Jawab Hukum atas Kerusakan Terumbu Karang

Polis standar H&M tidak menjamin tanggung jawab yang muncul dari kerusakan terhadap “fixed and floating object”.

Terumbu karang sudah pasti bukan termasuk “floating object”, tapi di sisi lain, apakah termasuk dalam “fixed object”?

Sejatinya, perluasan risiko “Fixed and Floating Object (FFO)” memang bukan produk asuransi M&H, tapi produk P&I meski sering digunakan sebagai perluasan dalam polis standar M&H.

Jadi untuk mengetahui sejauh mana cakupan “fixed object” maka kita harus melihat lihat jaminan yang diberikan dalam Protection & Indemnity (P&I).

Polis dari salah satu perusahaan P&I terbesar di dunia, Standard Club, menjamin “liability” yang timbul dari kerusakan “coral reef” sebagai “damage to fixed object”.

Atau polis yang diterbitkan Gard, salah satu club P&I terbesar Eropa yang berbasis di Norwegia, menyebutkan bahwa yang termasuk “fixed object” adalah “coral reef”.

Jadi untuk tanggung jawab atas kerusakan terumbu karang kemungkinannya ada 2 cara:

(i) Diklaim berdasarkan polis P&I dimana FFO merupakan jaminan standar; atau

(ii) Diklaim dari polis H&M jika pemilik kapal membeli “FFO” untuk memperluas Klausula 8 “Collision Liability”.

Semoga bermanfaat.












Semoga bermanfaat.

Hugo Grotius versus Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja

Nama Hugo Grotius sudah tidak asing lagi bagi mereka yang mempelajari hukum internasional, karena Hugo Grotius atau Hugo de Groot dianggap oleh banyak kalangan sebagai Bapak Hukum Internasional.

Misalnya Hamilton Vreeland, seorang guru & pengacara di Amerika Serikat pada tahun 1917, yang menulis "Hugo Grotius: The Father of the Modern Science of International Law"

Bahkan hingga kini, The American Society of International Law terus menggelar acara tahunan Grotius Lecture dan The Peace Palace Library di Den Haag untuk menghormatinya.

Namun demikian jika melihat sisi lain seorang Grotius, ada juga yang berpendapat bahwa Grotius sebenarnya bukan pemikir hukum tapi tidak lebih hanya sebagai pengacara yang bekerja berdasarkan pesanan klien belaka.

Ini dibuktikan dari argumentasinya yang terkenal "Mare Liberum" (Laut Bebas).

Argumentasi tersebut disampaikannya pada saat ia bekerja sebagai pengacara untuk & disewa oleh VOC, untuk melawan justifikasi penguasaan dunia yang telah dilakukan lebih dulunoleh Portugal dengan argumentasi "Mare Clausum" (Laut Tertutup).

Menurut Grotius, bahwa laut seperti juga udara, bebas digunakan oleh umat untuk keperluan navigasi dan perikanan.

Sepintas, pemikiran Grotius ini adalah cerminan sikap liberal yang memihak pada kebebasan, namun pada kenyataannya Grotius adalah seorang yang mendukung perbudakan & penjajahan.

Penjajahan Belanda atas Indonesia (dulu Nusantara) juga tidak kurang atas kontribusi pemikiran Grotius.

Dampak jangka panjang argumentasi Grotius terhadap kedaulatan Indonesia adalah bahwa meskipun Indonesia sudah memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka tapi karena Laut Jawa masih dianggap sebagai perairan Internasional maka kapal2 Belanda masih tetap bebas berlalu lalang.

Pada akhirnya, menurut Arif Havas Oegroseno (Deputi Kedaulatan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman RI), yang menghentikan "penjajahan" Grotius terhadap  kedaulatan di atas lautan Indonesia adalah Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, seorang ahli hukum internasional pertama yang dimiliki Indonesia.

Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja mengajukan konsepsi negara kepulauan Indonesia di depan Sidang Kabinet pada tanggal 13 Desember 1957 di kantor PM Djuanda.

Pengajuan konsepsi ini didorong oleh Chaerul Slaeh yang gusar atas lalu lalangnya kapal perang milik Belanda "DRENTE" di Laut Jawa.

Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja mendasarkan konsepsinya dari:

1. Hasil pertemuan pakar hukum internasional di International Law Commission tanggal 30 April 1949 s/d 4 Juli 1949, yang melarang lebar laut teritorial lenih dari 12 mil laut.

2. Keputusan Mahkamah Internasional dalam Sengketa Perikanan Inggris dan Norwegia tahun 1951, yang menegaskan bahwa negara2 dengan pantai menjorok atau dengan pulau2 kecil dapat menarik garis lurus dari titik terluar pantai.

3. Klaim unilateral Filipina pada tahun 1955 bahwa semua perairan di antara dan yang membentangkan pulau2 Filipina berada dalam kedaulatan Filipina.

Perjuangan Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja ini akhirnya diterima oleh masyarakat dunia dan disahkan sebagai Konstitusi Kelautan Dunia pada Konvensi Hukum Laut Ke-III tanggal 10 Desember 1982 sehingga menciptakan Hukum Laut yang baru.

Ahhh....saya bangga jadi orang Indonesia!

Ahhh....saya kepingin jadi ahli hukum maritim (mimpi dulu, hehehe....)!



(Disarikan dari tulisan Arif Havas Oegroseno di Harian Pikiran Rakyat, 14 Maret 2017)

Minggu, 12 Maret 2017

Perbandingan Singkat Hague-Visby Rules dan Hamburg Rules

Sebelum diberlakukannya “The Rotterdam Rules 2008” (United Nations Convention on Contracts for the International Carriage of Goods Wholly or Partly by Sea), ada 3 rezim aturan internasional yang terkait dengan pengangkutan barang melalui laut, yaitu:

  • The Hague Rules 1924 (International Convention for the Unification of Certain Rules of Law relating to Bills of Lading)

  • The Visby Rules atau Hague-Visby Rules (HVR) 1968 (Brussels Protocol of 1968 amending the Brussels 
    Convention of 1924)

  • Hamburg Rules (HR) 1978 (United Nation Convention on The Carriage of Goods by Sea)

Dibanding 2 pendahulunya, HR yang merupakan produk PBB, lebih mengakomodasi kepentingan pihak pemilik barang (cargo owner) atau pengirim barang (shipper)

Negara yang meratifikasinya pun umumnya negara2 berkembang, yang punya porsi kecil terhadap kepentingan barang.

Mungkin, oleh karena faktor inilah, salah satunya, HR dianggap sebagai produk “gagal” oleh sebagian pengamat dan/atau praktisi hukum maritim.

Hingga saat ini pun banyak pihak pengangkut (carrier) di negara maritim di dunia yang lebih memilih menggunakan HR atau HVR di dalam bill of lading yang mereka gunakan.

Sebagai produk awal di bidang keseragaman aturan bill of lading, Hague Rules dianggap sebagai produk yang revolusioner namun dilakukan sedikit revisi dan diakomodir dalam HVR. Sementara perubahan signifikan terlihat antara HVR dengan HR.

Tulisan singkat ini dibuat untuk mengetahui sedikit perbedaan antara rezim aturan internasional yang diatur dalam HVR dengan HR.

1. Pemberlakuan (Applicability)

HVR: Berlaku untuk kontrak pengangkutan barang via laut YANG DIBUKTIKAN dengan BILL OF LADING atau yang sama dengan “document of title”, antar pelabuhan di negara yang berbeda.

HR: Berlaku untuk SEMUA kontrak pengangkutan barang via laut antara dua negara.

2. Kargo di Atas Palka (Deck Cargo)

HVR: Jika barang ternyata dimuat di atas palka & ditulis di dalam bill of lading, maka barang tersebut dikecualikan dari Rules.

HR: Pihak pengangkut berhak untuk memuat barang di atas palka hanya jika sesuai kesepakatan dengan pihak pengirim atau sesuai peruntukkannya, atau sesuai aturan, dan harus ditulis di dalam bill of lading.

3. Periode Berlakunya

HVR: Mulai berlaku sejak saat barang dimuat ke atas kapal dan berakhir saat barang dibongkar dari kapal (“From Tackle to Tackle”).

HR: Mulai berlaku sejak barang berada dalam custody pihak pengangkut di pelabuhan muat, selama dalam pengangkutan dan di pelabuhan bongkar.

4. Pengertian Pihak Pengangkut (Carrier)

HVR: Pihak pengangkut termasuk pemilik (owner), atau pencharter (charterer) yang berkontrak dengan pihak pengirim (shipper).

HR: Pihak pengangkut termasuk pengangkut aktual (actual carrier) yang di antaranya termasuk setiap orang yang dipercayakan oleh pengangkut untuk melaksanakan seluruh atau sebagian pengangkutan barang.

5. Kekebalan Pihak Pengangkut (Carrier’s Immunity)

HVR memberikan daftar pengecualian yang luas untuk kepentingan pengangkut, sesuai Artikel IV (I) butir (i) s/d (xviii).

HR tidak memberikan daftar pengecualian yang luas kecuali 3 yang menguntungkan pihak pengangkut, yaitu:

(i) Ternak hidup
(ii) Deviasi
(iii) Kebakaran

6. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut

HVR: Batas tanggung jawabnya sebesar 666.67 SDR per koli atau 2 SDR per kg, yang mana yang tertinggi.

HR: Batas tanggung jawabnya 835 SDR per koli atau 2.5 SDR per kg mana yang paling tinggi.

7. Porsi Tanggung Jawab

HVR: Tidak ada aturannya

HR: Jika kesalahan atau kelalaian ada di pihak pengangkut, pelayannya atau agennya, berkombinasi dengan penyebab lain, pihak pemgamgkut bertanggung jawab hanya sebatas kerugian yang dikarenakan kesalahan atau kelalaiannya.

8. Batas Waktu Notifikasi Kerugian/Klaim

HVR: Notifikasi harus disampaikan secara tertulis ke pihak pengangkut atau agennya di pelabuhan bongkar sebelum serah terima, atau jika kerusakannya laten, 3 hari setelah serah terima.

HR: Notifikasi harus disampaikan secara tertulis ke penerima barang atau pengangkut tidak lebih dari 1 hari setelah barang diterima oleh penerima barang, atau jika kerusakannya laten, dalam waktu 15 hari setelah diterim oleh penerima barang.


9. Batas Waktu Litigasi


HVR: Jika ingin mengajukan tuntutan ke pengadilan, harus diajukan dalam waktu 1 tahun sejak tanggal serah terima barang atau sejak tanggal seharusnya barang telah diserahterimakan.

HR: Batas waktu pengajuan ke pengadilan selama 2 tahun sejak tanggal serah terima barang atau sejak tanggal seharusnya barang telah diserahterimakan.

Sementara itu, di dalam bukunya, “Shipping Law”, edisi ke-4, Simon Baughen menuliskan beberapa perubahan signifikan di Hamburg Rules dari skema yang diadopsi oleh Hague-Visby Rules, yaitu:

  1. HR mencakup periode penuh tanggung jawab pengangkut berdasarkan “port to port” berbeda dengan HVR yang hanya membatasi hanya “tackle to tackle”.
  2. HR berlaku untuk semua kontrak pengangkutan laut, kecuali “charter party”, berbeda dengan HVR yang membatasi hanya berlaku terhadap “bill of lading” atau dokumen lain yang sejenis dengan “document of title”.
  3. Pemberlakuan tanggung jawab ke kedua pihak “contracting carrier” dan “actual carrier” dalam HR mengurangi masalah yang terasosiasi dengan identifikasi pengangkut tunggal dalam HVR.
  4. HR berlaku wajib ke pengangkutan “Contracting State” tidak hanya pengangkutan dari “Contracting State”.
  5. HR mengatur ketentuan mengenai yurisdiksi & arbitrase, serta hubungan HR dengan konvensi internasional lainnya.
  6. Hamburg Rules mengadopsi sistem tanggung jawab yang seragam, berdasarkan “presumed fault” bertentangan dengan sistem tanggung jawab bertingkat yang diadopsi oleh Hague Rules, dengan segala implikasinya mengenai alokasi beban pembuktian.


Penjelasan mengenai komparasi yang lebih luas & detil masih digarap, mudah2an bisa dirilis di lain kesempatan.

Semoga bermanfaat.