Selasa, 13 September 2016

Dampak (Hampir) Collapsnya Hanjin Shipping Terhadap Marine Cargo Insurance

Peristiwa (hampir) kolapsnya perusahaan pelayaran Korea minggu lalu, Hanjin Shipping, cukup mengejutkan dunia shipping & industri terkait lainnya.

Betapa tidak, Hanjin Shipping adalah perusahaan pelayaran terbesar di Korea, bagian dari Hanjin Group, yang juga memiliki Korean Air Lines Co., perusahaan cargo airline terbesar ketiga dunia. Dengan market share sebesar 2.9%, Hanjin Shipping merupakan perusahaan pelayaran terbesar ke-7 di dunia.

Jika benar dinyatakan bangkrut, yang kemungkinan besar tinggal menunggu ketuk palu, maka akan terjadi kerumitan yang luar biasa. Yang mudah diprediksi adalah:

  1. Banyak pihak-pihak akan berebut aset berharga Hanjin Shipping karena merasa paling berhak.
  2. Kapal-kapal milik Hanjin yang terlanjur ada atau sedang bersandar di pelabuhan akan ditahan oleh otorita setempat atas permintaan kreditor.
  3. Kapal-kapal yang akan masuk pelabuhan kemungkinan besar ditolak oleh otorita & operator penyedia jasa pelabuhan.
  4. Praktis akan banyak cargo seolah-olah menjadi "tak bertuan" kecuali segera dilakukan tindakan oleh Shipper.

Khusus butir (2) dan (3) sudah terjadi beberapa hari ini.

Sampai dengan Senin, 5 September 2016, 79 unit kapal milik Hanjin termasuk 61 kapal kontainer & 18 kapal curah, telah ditolak masuk ke pelabuhan. Ini belum termasuk kapal MV "HANJIN ROME" yang ditahan di Singapura atas permintaan Kreditur.

Ada juga 3 kapal yang terkatung-katung di lepas pantai pelabuhan Los Angeles dan Long Beach California sejak Rabu kemarin. Satu kapal lainnya terkatung-katung di Port of Prince Rupert di British Columbia, Canada. 

Sebagai catatan, Hanjin memiliki 141 unit kapal namun hanya 128 di antaranya yang dioperasikan.

Yang mengkhawatirkan dari MV "HANJIN ROME" adalah kapal ini sedang membawa 50 kontainer yang memuat komponen pembangkit nuklir yang sedang dalam tahap konstruksi di Uni Emirat Arab.

Menurut Korea International Trade Association (mungkin semacam Kadin Korea) kapal-kapal milik Hanjin sekarang ini mengangkut kurang lebih USD 14.5 milyar kepunyaan lebih dari 8.300 pemilik barang.

Karena kondisi keuangan Hanjin yang tidak menentu, banyak otorita pelabuhan dan operator jasa pelabuhan meminta uang tunai untuk mengerjakan kapal-kapal milik Hanjin.

Menurut konsultan Alphaliner, jika benar terjadi maka kebangkrutan Hanjin Shipping akan menjadi peristiwa terbesar yang pernah terjadi bagi sebuah perusahaan kontainer dengan kapasitas besar ini melebihi apa yang pernah menimpa United States Lines pada tahun 1986.

Kondisi keuangan perusahaan sendiri sebenarnya sudah dalam masalah karena kerugian operasional sebesar USD 580 juta sejak tahun 2010 sampai semester 2016. Indikasi lainnya adalah pada bulan Juni 2016 pihak Managemen/Pemilik kapal yang disewa oleh Hanjin Shipping menolak permohonan diskon harga sewa kapal sebesar 30%.

Lalu apa pengaruhnya terhadap dunia asuransi, khususnya marine insurance?

Barang-barang yang masih berada di kontainer yang dimuat di kapal milik Hanjin akan menjadi seolah-olah "tak bertuan" sampai batas waktu yang tidak bisa diprediksi jika tidak segera diurus oleh cargo interest.

Jika barang tersebut termasuk komoditas yang lifetimenya terbatas maka akan mengalami penurunan kualitas sebelum tiba di tujuan dan menjadi rusak karena sifat barangnya sendiri (inherent vice).

Selain itu, efek dari permasalahan keuangan pihak pelayaran juga dianggap tidak mencerminkan "fortuitous" yang menjadi unsur penting dalam asuransi karena dapat dipastikan kapal-kapal akan berhenti beroperasi dimana pun berada ketika Carrier mengalami default.

Ketiga isu yang disinggung di atas: "delay", "inherent vice" dan "insolvency or financial default of carrier" adalah situasi yang polis alergi terhadapnya karena disebut di dalam pengecualian umum.

Untuk memastikannya, silahkan cek kembali T&C polis marine cargo yang anda miliki atau diskusikan lebih lanjut kepada broker/konsultan anda, apakah kondisinya masih standar atau mungkin ada perluasan risiko terkait!


(Dirangkum dari berbagai sumber)




(pictures courtesy to www.worldmaritimenews.com)

Jumat, 26 Agustus 2016

Bye Bye Warranty: Racun Kejam di Marine Insurance

Buat yang tidak paham dengan istilah-istilah di dalam hukum asuransi, khususnya hukum asuransi laut, ada salah satu terminologi yang punya efek sangat kejam (harsh/severe) jika dilanggar, yaitu "warranty".

Dalam terminologi bahasa Indonesia, padanan kata yang cocok untuk "warranty" dalam hukum asuransi mungkin adalah janji, tapi konsep "warranty" ini berbeda dengan konsep "warranty" yang umum kita temui di hukum jual beli.

Secara sederhana "warranty" dalam hukum asuransi laut dapat diartikan sebagai janji tertanggung untuk:

1. Melaksanakan suatu hal; atau
2. Tidak melaksanakan suatu hal


Sebagaimana dinyatakan oleh Thomas LJ dalam kasus "Toomey v. Vitalicio" bahwa "breach of warranty" memberikan efek "draconian" yaitu asuransi dibebaskan dari tanggung jawab meski klaim yang diajukan tidak berhubungan dengan hal yang diperjanjikan dalam "warranty".

"Draconian" sendiri diartikan sebagai "very severe or cruel" atau "great severity".

Istilah "Draconian" ini berawal dari tokoh hukum di jaman Yunani Kuno, Draco yang pernah memberlakukan hukum yang terkenal kejam pada masanya, yang digambarkan penulisan aturannya menggunakan darah bukan dengan tinta. Misalnya hukuman mati dikenakan terhadap semua pelaku kriminal tanpa kecuali.

Efek kekejaman Draco ini di bidang hukum masih digunakan dalam kemasan istilah sebagaimana telah dijelaskan di atas & masih dipraktekan di pengadilan-pengadilan komersial di Inggris.

Bagaimana kejamnya efek pelanggaran "warranty" misalnya dapat kita lihat dari kasus "De Hahn v. Hartley (1786)" yang dinyatakan oleh hakim:

“A warranty in a policy of insurance is a condition or a contingency, and unless that be performed, there is no contract. It is perfectly immaterial for what purpose a warranty is introduced; but, being inserted, the contract does not exist unless it be literally complied with"

Atau menurut pendapat pakar hukum asuransi yang juga seorang hakim di Inggris, Sir Joseph Arnould:

“No cause, however sufficient; no motive however good, no necessity, however irresistible, will excuse non-compliance with a warranty”

Di Eropa, konsep "warranty" dalam hukum asuransi laut ini banyak dikritisi oleh ahli hukum, baik oleh orang Inggris sendiri atau dari luar Inggris, misalnya oleh salah satu anggota Komisi Hukum Inggris:

“The current law on warranties has been called archaic, blunt and unfair. It is out of date…” (David Hertzell, Law Commissioner)

Berdasarkan pengalaman penulis, di Indonesia, penolakan2 klaim atas dasar "breach of warranty" ini tidak selalu mulus & hampir pasti menimbulkan pertanyaan & ketidakpuasan dari tertanggung, apalagi jika pelanggaran tersebut tidak ada kaitannya dengan klaim yang sedang diajukan.

Sedemikian "kejamnya" efek pelanggaran "warranty", seorang profesor hukum, John Hare, menyamakannya sebagai racun dalam kalimat sinis berikut:

“Let us consign the toxic English warranty to the obscurity of history where it belongs…”

Setelah mendapat sorotan setidaknya sejak tahun 1979 dari Komisi Hukum di Inggris, perkembangan menggembirakan patut disambut dengan disetujuinya UU yang baru di Inggris, "The Insurance Act 2015", yang telah diberlakukan sejak tanggal 12 Agustus 2016 yang lalu & salah satu konsep yang direformasi adalah "warranty".

Singkatnya, jika terjadi klaim & pada saat yang sama terjadi "breach of warranty" oleh tertanggung, maka penanggung tidak lagi bisa menjadikan "breach of warranty" sebagai defence untuk menolak klaim jika "warranty" yang dilanggar tersebut tidak ada hubungannya dengan klaim yang sedang diajukan.

(Diolah dari berbagai sumber)

Kamis, 04 Agustus 2016

Charter Party Bukan Sewa Kapal?

Jika meminjam definisi BIMCO, sebuah asoasiasi pelayaran internasional, yang dimaksud "charter party" adalah:

"...a rental agreement in which a charterer agrees to hire a ship from its owner" (lihat https://www.bimco.org/)

Jika diterjemahkan secara bebas artinya kurang lebih adalah perjanjian (sewa) dimana pihak penyewa setuju untuk menyewa kapal dari pemiliknya.

Frasa ini berasal dari bahasa Latin abad Pertengahan "charta partita" yang penggunaannya masih dipertahankan hingga sekarang.

Istilah "charta partita" jika diartikan secara literal adalah:

"divided charter, one part being given to each of the contractors" (lihat http://www.merriam-webster.com/dictionary/)

Kata-kata berikut dalam bahasa Inggris "charter" atau "rent" atau "lease" atau "hire" jika diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang sama, yaitu "sewa".

Padahal di dalam hukum, perjanjian "leasing" berbeda dengan perjanjian sewa menyewa, antara lain misalnya dalam "leasing" ada (opsi) peralihan hak sedangkan di perjanjian sewa menyewa tidak ada.

Demikian juga dalam "charter party", sejatinya yang terjadi bukanlah sewa menyewa kapal karena jika disebut sewa pun lebih merupakan perjanjian "sewa ruang muatan" yang ada di kapal.

Dalam pengertian "sewa ruang muatan" kapal ini ada 2 jenis "charter party" yang populer, yaitu "time charter" dan "voyage charter".

Sesuai kata yang disandangnya, "voyage charter" berarti sewa ruang muatan kapal berdasarkan pelayaran, sedangkan "time charter" berarti sewa ruang muatan kapal berdasarkan waktu.

Baik "voyage charter" atau pun "time charter" karena keduanya hanya menyewakan ruang muatan, maka kapal tetap dioperasikan oleh ABK yang dipekerjakan oleh pemilik kapal.

Lalu bagaimana dengan kapal utuh, apakah bisa disewakan juga?

Bisa, ini yang di dalam terminologi asing disebut dengan "bareboat charter" atau "demise charter".

Bagaimana kemudian kedudukan "charter" dalam konteks hukum di Indonesia.

Menurut Prof. H.M.N. Purwosutjipto, istilah "charter" kapal berbeda dengan "menyewa" kapal. Yang menjadi pembeda adalah keberadaan awak kapal atau ABK.

Jika dalam "charter" kapal dioperasikan oleh ABK yang dipekerjakan oleh pemilik kapal maka dalam "sewa" kapal dioperasikan oleh ABK yang dipekerjakan oleh "charterer".

Istilah "sewa" kapal ini menurut Prof. H.M.N. Puwosutjipto dipersamakan dengan istilah asing "bareboat".

Selain itu, dasar hukum antara "charter" dan "sewa" juga berbeda. Jika "charter" diatur menurut Bab V Buku Kedua KUHD, sedangkan "bareboat" diatur dalam Bab VII Buku Ketiga KUHPerdata.

Bagaimana hubungan "charter party" dengan "marine insurance"?

Bersambung...

(Dirangkum dari berbagai sumber)

Minggu, 10 Juli 2016

Reformasi "MIA 1906" menjadi "INSURANCE ACT 2015"

Pemberlakuan yurisdiksi dan hukum Inggris, suka atau tidak suka, masih menjadi suatu kenyataan penting yang (harus) disepakati oleh pihak2 yang terlibat di dalam kontrak asuransi.

Tidak hanya dalam praktek, dalam teori pun, aspek2 hukum Inggris masih tetap menjadi salah satu bahasan yang harus dipelajari oleh praktisi asuransi, dan kitab yang jadi rujukan adalah "Marine Insurance Act 1906".

Meski nama UU (lama) ini menyandang kata "marine" tapi konsepnya secara umum berlaku untuk semua "class of bussines".

UU lama ini dinilai sudah "seriously out of date" sehingga mengharuskan pihak2 yang berkepentingan di Inggris untuk mereformasi UU tersebut.

Singkatnya, hasil reformasi MIA 1906 ini sekarang sudah menjadi UU hasil proses legislasi dengan nama baru yang disebut sebagai "Insurance Act 2015".

"Insurance Act 2015" sudah dirilis sejak tanggal 12 Pebruari 2015 dan akan mulai diberlakukan mulai tanggal 12 Agustus 2016 untuk semua kontrak asuransi. RUU Asuransi ini pertama kali diperkenalkan di Parlemen pada tanggal 17 Juli 2014.

UU baru ini merupakan hasil evaluasi bersama oleh Komisi Hukum Inggris dan Komisi Hukum Skotlandia dalam hal hukum asuransi. MIA 1906 oleh Komisi Hukum dinilai terlalu “insurer-friendly” dan pembatasan bagi penanggung untuk dapat menghindar dari tanggung jawab terlalu luas.

Oleh pemerintah Inggris, UU baru ini disebut sebagai “the biggest reform to insurance contract law in more than a century”.

UU baru ini didisain untuk memberikan kerangka berpikir yang lebih "up to date" dalam asuransi komersial dengan tujuan untuk:

“at ensuring a better balance of interests between policyholders and insurers”.

Sehingga diharapkan akan tercapai transparansi dan kepastian atas aturan2 yang mengatur kontrak komersial antara pemegang polis dan penanggung.

UU ini memperkenalkan beberapa perubahan substansial & sebagai pengganti Marine Insurance Act (MIA) 1906 yang berlaku terhadap polis-polis komersial, baik "marine" ataupun "non marine".

Dari sekian banyak ulasan oleh pakar atau pengamat atau praktisi hukum dari berbagai sudut pandang, Penulis coba ringkas sedikit penjelasan yang mudah dipahami, yaitu:

1. "Disclosure"

UU yang baru mengganti kewajiban pengungkapan "duty of disclosure" oleh tertanggung dengan persyaratan tertanggung harus membuat “fair presentation of the risk”.

Ini berarti bahwa penanggung tidak lagi punya hak untuk membatalkan kontrak asuransi jika terjadi pelanggaran atas doktrin "duty of utmost good faith".

Broker, yang bertindak mewakili kepentingan tertanggung juga tidak lagi tunduk pada aturan lama mengenai "duty of disclosure".

2. "Warranties"

Berdasarkan hukum yang masih berlaku, pelanggaran atas "warranty" akan membebaskan penanggung dari semua tanggung jawab menurut kontrak asuransi, meskipun pelanggaran tersebut sepele dan tidak berhubungan dengan klaim yang diajukan oleh tertanggung.

Berdasarkan UU yang baru, penanggung tidak bisa bergantung pada pelanggaran "warranty" jika tidak berhubungan dengan klaim.

Malah "warranty" akan memiliki efek suspensif sedemikian rupa bahwa penanggung hanya dapat bergantung pada "warranty" yang dilanggar oleh tertanggung. Penanggung akan kembali "on risk" jika pelanggaran tersebut sudah diperbaiki/dikoreksi.

3. "Remedy" bagi penanggung dalam hal terjadi "fraudulent claims".

Jika menurut MIA 1906 jika terjadi "fraud" tertanggung dapat kehilangan seluruh klaim & penanggung dapat membatalkan seluruh kontrak, tapi menurut UU yang baru penanggung tidak dapat dimintakan tanggung jawab untuk klaim yang terkait "fraud" dan dapat meminta tertanggung mengembalikan jumlah yang sudah dibayar untuk klaim yang terkait "fraud" dan menghentikan kontrak sejak terjadi "fraud" serta menahan premi.

Penting juga untuk dicatat bahwa UU 2015 ini membedakan antara “consumer insurance contract” dan “non-consumer insurance contract”.

Namun demikian UU baru ini tetap memerlukan waktu untuk pembuktiannya di pengadilan guna mendapatkan pemahaman yang lebih baik, bagaimana UU ini diinterpretasikan dan diberlakukan di berbagai kasus yang berbeda.


(Dirangkum dari berbagai sumber)

Sabtu, 25 Juni 2016

Polis Marine Hull "All Risks"?

Di pasar asuransi marine, khususnya marine hull yang berkiblat ke London market, tersedia beberapa produk asuransi yang memberikan proteksi atas rangka kapal (hull), selain juga polis pengangkutan(cargo).

Polis marine hull, yang paling populer & masih sering digunakan adalah polis "Insitute Time Clauses (ITC) Hulls 1/10/83", dengan 3 macam varian:

1. ITC Hulls 1/10/83 dengan kode CL.280

2. ITC Hulls 1/10/83 Total Loss, General Average, & 3/4ths Collision Liability (Including Salvage, Salvage Charges and Sue & Labor) dengan kode CL.284

3. ITC Hulls 1/10/83 Total Loss Only (Including Salvage, Salvage Charges and Sue & Labor) dengan kode CL.289

Praktisi asuransi umumnya lebih senang & mudah menyebut kodenya untuk merujuk ke polis tertentu, misalnya CL.280 atau CL.284 atau CL.289.

CL.280 memiliki proteksi paling lengkap, CL.284 proteksinya moderat (penulis biasa menyebutnya "Total Loss plus plus") sedangkan CL.289 proteksinya paling sempit.

Selain 3 macam polis di atas yang periode penutupannya berdasarkan "time" (waktu) yang umumnya 12 bulan, ada juga polis "Institute" yang berdasarkan "voyage" (pelayaran), yaitu dari satu tempat ke tempat lainnya.

Polis berdasarkan "voyage" atau disingkat "IVC" ini lazim digunakan untuk kapal-kapal dalam pengiriman. Misalnya, seorang pengusaha yang baru membeli kapal & ingin mengirim ke domisilinya dimana kapal akan dioperasikan. Untuk memproteksi kapal yang baru dibelinya, ia dapat membeli polis marine hull berdasarkan "voyage". Proteksi ini berjalan dari sejak kapal memulai pelayaran dari pelabuhan asal sampai tiba di pelabuhan tujuan yang keduanya disebut di dalam polis.

Polis asuransi marine cargo sejatinya berdasarkan konsep "voyage policy" karena memberikan proteksi atas barang selama dalam pelayaran dari pelabuhan asal sampai pelabuhan tujuan.

Untuk sekedar refresh ingatan, ketika belajar dasar2 asuransi, ada bahasan mnegenai "peril system" yang terdiri dari "named perils" dan "unnamed perils".

Disebut "named perils" karena risikonya disebut di dalam polis dan sebaliknya disebut "unnamed perils" karena risikonya tidak disebut di dalam polis. Yang disebut terakhir ini sering diasosiasikan dengan "all risks policy".

Meski disebut "all risks policy" tetapi sejatinya tidak semua risiko dijamin karena tetap ada pengecualian (exclusions).

Pertanyaannya, apakah varian polis marine hull terbitan "Institute" termasuk "named perils" atau "all risks policy"?

Untuk mendapatkan jawabannya kita baca saja polisnya & kita akan temukan salah satu klausula (6) di ITC atau klausula (4) di IVC isinya adalah daftar risiko (penyebab) yang dijamin (peril clause).

Jadi, semua varian polis ITC Hulls, tidak ada yang "all risks", bahkan polis terbitan terbaru pun, "International Hull Clauses (IHC) 1/11/03" atau polis yang sebelumnya kurang "acceptable" di market, ITC 1/11/95 juga "named perils".

Tulisan dengan tema yang sepertinya sepele ini didasarkan pada pengalaman penulis yang tergelitik mendengar masih banyak praktisi asuransi yang menyebut CL.280 sebagai polis "All Risks".

Entah apa alasan pastinya bahkan ada perusahaan asuransi yang terang2an menuliskan "All Risks" di polis ITC Hulls 1/10/83 dengan kode CL.280, hal yang menurut pemahaman penulis sesuai penjelasan di atas sebenarnya kurang tepat.

Penulis, jika merujuk ke CL.280, lebih proper & nyaman menyebutnya sebagai polis "jaminan luas" atau "comprehensive".

Sebagai informasi pembanding, polis marine hull yang masuk kategori "All Risks" bisa kita temui di Eropa tetapi di luar London market, yaitu polis yang umum digunakan di negara-negara Nordic dengan nama "The Nordic Marine Insurance Plan" atau biasa disebut "The Plan" yang dibuat berdasarkan "Norwegian Marine Insurance Plan (NMIP) 1996".

Rabu, 22 Juni 2016

Bill of Lading Bukan Kontrak (Pengangkutan)

Bill of lading mungkin tidak asing bagi praktisi yang sehari-hari bergelut di bidang shipping namun bagi praktisi di bidang asuransi, terutama marine insurance, dokumen yang disebut bill of lading ini mungkin baru dipandang sebatas dokumen pelengkap/pendukung dalam 2 situasi, yaitu:


1. Pada saat penempatan risiko atau proses underwriting; dan

2. Pada saat terjadi klaim.

Pada situasi yang pertama, seorang underwriter membutuhkan bill of lading, mungkin tidak lebih hanya untuk mengetahui informasi yang terkait dengan pelayaran, alat angkut dan jenis barang yang akan diangkut serta cara pengangkutannya.

Pada situasi kedua, bill of lading dibutuhkan oleh claim officer untuk memverifikasi informasi awal saat proses underwriting dengan aktualisasinya.

Padahal, dalam bidang maritime law, sedemikian pentingnya fungsi bill of lading sehingga dokumen ini disematkan label sebagai "the key to the warehouse".

Dalam kalimat yang sederhana berarti seseorang yang ingin mengambil barang dari gudang (shipping line) harus menggunakan bill of lading sebagai kuncinya.

Sebagian besar literatur mengenai bill of lading, umumnya menulis fungsi bill of lading ada 3, yaitu:

  1. Evidence of receipt (sebagai bukti tanda terima)
  2. Evidence of contract of carriage (sebagai bukti adanya kontrak pengangkutan)
  3. Sebagai "document of title"

Penjabaran fungsi ini sesuai dengan keputusan Lord Bramwell dalam kasus "Sewell v. Burdick, (1884)" dalam kalimat berikut:

"A bill of lading has in the eyes of the law, various aspects:

1. It is very good evidence of the contract of affreightment, though not the contract itself, for the contract is usually entered into before the bill of lading is signed.

2. It is a receipt for the goods shipped and contains certain admissions as to their quantity and condition when put on board.

3. It is a document of title, without which delivery of the goods cannot normally be obtained"

Pandangan yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Simon Baughen, seorang solicitor yang menulis buku terkenal "Shipping Law", yaitu:

  1. Receipt
  2. Document transferring constructive possession
  3. Document of title
  4. A potentially transferable carriage contract

Namun jika kita baca penjabarannya, kurang lebih sama dengan 3 fungsi yang sudah diuraikan di atas.

Dari ketiga fungsi yang semuanya penting tersebut, fungsi sebagai "document of title" merupakan fungsi paling sentral & berhubungan erat dengan bidang komersial yang melalui moda angkutan laut.

Mengenail fungsi bill of lading sebagai "document of title" karena cukup kompleks dari aspek legal & akan kita bahas di tulisan terpisah.


Bill of Lading as Evidence of Receipt

Ini adalah fungsi bill of lading sejak pertama kali digunakan dalam historisnya yang berkembang dari kebiasaan yang menggantikan kebiasaan sebelumnya dimana shipper/seller ikut berlayar bersama barangnya.

Di dalam pengangkutan barang dengan kapal laut ada aturan umum yang berlaku, mengutip dari keputusan Lord Summer dalam kasus "Bradley v. Federal Steam, etc, Co. (1927)", yaitu bahwa pihak carrier harus menyerahkan:

"What she received as she received it, unless relieved by the excepted perils”

Bill of lading sebagai bukti tanda terima akan menyebutkan kondisi dan jumlah barang yang diserahkan ke dalam penguasaan carrier.

Jika barang yang diserahterimakan dari shipper sudah sesuai dengan kondisi dan jumlah yang diterima oleh carrier atau "apparent good order and condition" maka bill of lading dinyatakan "clean".

Sebaliknya, jika kondisi atau jumlah barang yang diterima oleh carrier tidak "apparent good order and condition" saat dimuat dan bill of lading diberikan catatan, maka dinyatakan sebagai "unclean" atau "claused".

Pentingnya bill of lading sebagai bukti tanda terima karena dokumen ini dianggap sebagai pengakuan yang mengikat mengenai barang yang dimuat ke atas kapal.


Bill of Lading as Evidence of Contract of Carriage

Untuk fungsi ini, banyak praktisi, khususnya di asuransi, yang mengira bahwa bill of lading adalah kontrak pengangkutan, sebuah anggapan yang keliru.

Dalam hubungan antara carrier dan shipper, bill of lading itu sendiri bukan sebuah kontrak pengangkutan, tapi sebatas bukti adanya kontrak tersebut.

Sumber yang dikutip untuk dalil ini adalah "obiter dictum" Lord Bramwell di kasus "Sewell v. Burdick (1884)" ketika membahas mengenai "Bills of Lading Act 1855" dengan kalimat:

“There is, I think, another inaccuracy in the statute....It speaks of the contract contained in the bill of lading. To my mind, there is no contract in it. It is a receipt for the goods, stating the terms on which they were delivered to and received by the ship, and therefore excellent evidence of those terms, but it is not a contract.”

Diktum ini kemudian diterima sebagai hukum positif di Inggris sampai sekarang, sesuai pernyataan Lord Goddard dalam kasus "The Ardennes (1950)" yang menyatakan bahwa:

"...a bill of lading is not in itself the contract between the shipowner and the shipper of goods, though it has been said to be excellent evidence of its terms..."

Pada kenyataannya, sebelum realisasi pengapalan barang dan bill of lading diterbitkan, antara shipper dan carrier sudah ada kesepakatan mengenai pengangkutan barang.


(Dirangkum dari berbagai sumber)

Minggu, 19 Juni 2016

Quo Vadis General Average: Dipertahankan atau Dihapus?

Sepintas General Average


Menurut Profesor William Tetley, seorang pakar kenamaan dalam bidang maritime law dari Kanada, general average adalah bentuk penyebaran risiko transportasi laut yang sudah eksis sejak lama sebelum marine insurance.

General average berasal dari konsep kuno dan dapat dilacak ke "lex Rhodia de lactu" yang kemungkinan ada di abad ke-4 BC:

“The Rhodian law decrees that, if in order to lighten a ship, merchandise has been thrown overboard, that which has been given for all should be replaced by the contribution of all”

Konsep ini telah mengalami reformasi beberapa kali dan masih tetap berlaku di perdagangan maritim moderen saat ini.

Meski general average dan marine insurance sama-sama cabang ilmu marimite law yang berdiri sendiri, tapi keduanya sangat erat berkaitan karena polis marine, baik hull, cargo dan freight memberikan jaminan atas kontribusi biaya general average yang harus ditanggung oleh masing-masing interest.


Penyeragaman Aturan

Dalam perjalanannya, klaim general average di industri maritim demikian banyak sementara aplikasinya bervariasi sehingga dalam sebuah konferensi di Glasgow tahun 1860 diadopsi beberapa resolusi untuk menyeragamkan aturan mengenai general average yang dikenal dengan "The Glasgow Resolutions".

Dalam Kongres Internasional mengenai General Average tahun 1864 dihasilkan 11 Rules penyeragaman yang dikenal dengan "The York Rules".

Tahun 1877 diadakan konferensi lanjutan mengenai general average di kota Antwerp untuk mereformasi "York Rules 1864" sehinggal dihasilkan "The York and Antwerp Rules" yang mulai dilekatkan ke dalam bill of lading, charterparty dan polis marine insurance sejak tanggal 1 Januari 1877.

Dalam konferensi di Liverpool tahun 1890, diadopsi beberapa penambahan aturan penyeragaman yang dikenal dengan nama yang digunakan hingga sekarang, "The York-Antwerp Rules" atau biasa disingkat dengan YAR.

Selanjutnya, dilakukan lagi beberapa reformasi aturan pada tahun 1924, 1950, 1974, 1994 dan 2004.

Yang terkini adalah disetujuinya YAR 2016 dalam konferensi internasional ke-42 Comite Maritime International (CMI) dari tanggal 3 Mei s/d 6 Mei 2016 di New York.


Masa Depan General Average

Konsep general average mungkin salah satu cabang ilmu maritime law yang paling banyak mendapat kritik meski sudah berkembang sejak ratusan tahun yang lalu.

Sejak tahun 1877, konsep general average sudah mendapatkan kritikan dari kalangan praktisi di industri maritim.

Hingga kini, secara garis besar kritik yang paling sering disuarakan antara lain:

  1. Terlalu kompleks
  2. Memakan waktu lama
  3. Terlalu mahal
  4. Sistemnya rentan disalahgunakan oleh pengusaha kapal yang nakal


Argumentasi Kontra General Average

General average dinilai sangat memakan waktu dan berbiaya mahal. Misalnya, jika kapal kontainer yang menjadi subyek dalam general average maka akan melibatkan ribuan kontainer dengan ribuan kepentingan dan masing-masing memiliki asuransi marine cargo yang berbeda. Makin banyak kepentingan cargo yang terlibat, makin lama pula penyelesaiannya karena general average melibatkan penyelesaian dari banyak perusahaan asuransi.


Terlepas dari dispute yang muncul, keterlambatan sudah mulai terjadi sejak dari menyiapkan waktu yang dibutuhkan untuk meminta jaminan general average, mengumpulkan dokumentasi dan penyelesaian klaimnya jika pernyataan final sudah dikeluarkan.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh UNCTAD dan dituangkan dalam sebuah laporan tahun 1994, hampir semua responden yang ditanya, consignee tidak familiar dengan general average dan di sisi lain shipowner menemui kesulitan jika harus meminta jaminan karena consignee tidak mengerti general average dan banyak yang tidak mengasuransikan muatannya. Banyak juga responden yang memberikan tanggapan bahwa sistem general average terlalu kompleks dan membutuhkan penyederhanaan, serta banyak permasalahan lainnya.

Laporan yang sama menyebutkan di dalam salah satu kesimpulannya bahwa tidak ada atau sedikit tempat bagi general average di marine insurance atau di perdagangan maritim secara keseluruhan. Beberapa komunitas di industri marine insurance malah menyuarakan cara efektif untuk menyederhanakan general average adalah dengan menghilangkannya sama sekali.

Sebuah laporan/rekomendasi yang dibuat oleh kantor pengacara di Amerika Serikat pada tahun 2013 menyebutkan bahwa setelah dikeluarkannya General Average Statement tidak serta merta menghasilkan resolusi. Kadang-kadang nilai kontribusi masih harus dihitung oleh pengadilan atau badan arbitrase, yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Meskipun general average memberikan aturan-aturan yang spesifik, tapi berkebalikan dalam prakteknya karena kompleksnya perhitungan dan/atau proses litigasi. 

Menurut Profesor William Tetley:

"General average was a useful concept before the advent of marine insurance. It has grown far beyond its original parameters and has become more and more oriented in favour of shipowners and the average adjusting profession. It serves little beneficial use, while it is a complicated, expensive, often unfair and time-consuming mechanism, and out of step with contemporary thinking and practice in other fields of transportation law"


Argumentasi Pro General Average

Bagaimana kemudian mengetahui pandangan dari pihak-pihak yang mendukung upaya agar general average tetap dipertahankan?

Tahun 1996, sebuah kelompok yang terdiri dari spesialis di bidang marine insurance yang tergabung dalam Association of Average Adjuster, memberikan pandangannya bahwa jika general average dihapus, apakah dengan perubahan hukum atau kontrak, semua kerugian dan biaya yang saat ini dibagi antara kapal dan muatan, jadi tidak dibagi, maka metode lain mengenai harus dibuat dan sistem yang sudah mapan akan berakhir menuju ketidakpastian.

Menurut International Chamber of Shipping dalam Makalah yang diterbitkan tahun 2004, misalnya menyebutkan bahwa general average adalah solusi praktis untuk mendistribusikan kerugian yang timbul karena insiden maritim yang besar dan sistemnya sudah dipahami secara internasional.

Terlepas dari disetujuinya YAR 2016 belum lama ini, tapi pertarungan antara Asuransi (diwakili antara lain oleh IUMI) yang ingin mengurangi peran general average dengan Shipping (diwakili salah satunya oleh BIMCO) yang berusaha untuk mempertahankan general average belum sepenuhnya selesai & masih akan terus berlanjut.

Apakah cabang ilmu maritime law ini akan benar-benar dihapus? Kita tunggu saja perkembangannya.


(Diolah dari berbagai sumber)



(Picture courtesy to www.defiantmarine.net)

Rabu, 15 Juni 2016

"Hague Rules", "Hague-Visby Rules", "Hamburg Rules" dan "Rotterdam Rules" - Masih Perlukan Proteksi "Marine Insurance"?

Sepintas "Hague Rules 1924"

"Hague Rules" yang diadopsi di Brussel tahun 1924, adalah skema untuk penyeragaman bill of lading yang meniru kompromi pembagian risiko antara pengangkut dan pemilik barang dalam "Harter Act" yang diberlakukan di Amerika Serikat.

Disebut "Hague Rules" karena proyek penyusunan aturan ini dimulai saat pertemuan International Law Association (ILA) di kota Hague, Belanda, tahun 1921. Hasil dari pertemuan di Hague ini kemudian diadopsi oleh perwakilan-perwakilan diplomatik dalam sebuah konvensi di Brussel tahun 1924.




Sepintas "Hague-Visby Rules 1968"


Setelah itu ada "Hague-Visby Rules yang sederhananya adalah "Hague Rules" dengan sedikit perubahan yang dibuat berdasarkan kepentingan mengkoreksi beberapa kesulitan yang ditemui sejak diberlakukan 44 tahun sebelumnya.

"Hague-Visby Rules 1968" berisi amandemen atas "Hague Rules" yang diadopsi dalam "Protocol to Amend the International for the Unification of Certain Rules of Law Relating to Bills of Lading"Baik "Hague Rules" atau "Hague-Visby Rules", keduanya membebankan kewajiban bagi carrier di laut menurut kontrak pengangkutan yang diatur dalam bill of lading.

Kewajiban prinsip carrier adalah "exercise due diligence to provide seaworthy ship" (Art. III Rule 1) dan menjaga muatan (Art. III Rule 2).

Kewajiban menjaga muatan secara tersurat tunduk pada daftar pengecualian terhadap tanggung jawab atas kerugian dan kerusakan barang yang timbul dari keadaan yang terdapat dalam Article 4.2.

Carrier juga harus menunjukkan bahwa mereka telah memenuhi tanggung jawab utamanya mengenai "seaworthiness" dari kapal sesuai Article III Rule 1 sebelum mereka dapat menggunakan pengecualian dalam Article 4.2.

Ketentuan-ketentuan dalam Article 4.2 umumnya merefleksikan pengecualian yang terdapat dalam kontrak pelayaran dan "regime liability" lainnya yang berlaku pada saat "Hague Rules" diadopsi.

Pengecualian di Article 4.2 sendiri adalah bawaan dari "Hague Rules" dan tidak berubah di dalam "Hague-Visby Rules".




Sepintas "Hamburg Rules 1978"


"Hamburg Rules" adalah seperangkat aturan internasional dalam hal pengiriman barang lewat laut, yang dihasilkan dari "United Nations International Convention on the Carriage of Goods by Sea" yang diadopsi tahun 1978 di Hamburg.

"Hamburg Rules" sebagian besar disusun sebagai jawaban atas perhatian dari negara2 berkembang yang menilai "Hague Rules" tidak fair dalam beberapa aspek. Perhatian ini didasarkan fakta yang mereka lihat bahwa "Hague Rules" disusun oleh negara2 maritim kolonial dan untuk keperluan mengamankan dan mengembangkan kepentingan mereka dengan mengorbankan negara lain.

Menurut "Hamburg Rules", pihak carrier harus bertanggung jawab atas kerusakan atau kerugian dari barang kecuali carrier dapat membuktikan bahwa mereka telah mengambil langkah2 wajar untuk mencegah kerugian.

  
Sepintas "Rotterdam Rules 2009"

Aturan ini masih relatif baru yang diadopsi pada tanggal 11 Desember 2008 dari "Convention of Contracts for the International Carrying of Goods Wholly or Partly by Sea" dalam Sidang Umum PBB dan mengesahkan upacara penandatanganan Konvensi pada tanggal 20 s/d 23 September 2009, di Rotterdam, Belanda.

"Rotterdam Rules" diadopsi oleh "United Nations Commission on International Trade Law" (UNCITRAL) diharapkan akan menggantikan "regime liability" yang masih eksis, yaitu "Hague (Visby) Rules" dan "Hamburg Rules".

Sebanyak 24 negara termasuk Amerika Serikat & negara-negara terkemuka di Eropa semisal Belanda, Denmark, Perancis, Spanyol dan Swiss sudah menandatangani "Rotterdam Rules".

Para pemilik kapal meyakini bahwa aturan baru ini akan menimplementasikan keseragaman "cargo liability" secara global, memfasilitasi "e-commerce" yang menggunakan dokumen elektronik, merefleksikan pelayanan terkini "door to door" yang melibatkan moda angkutan lain selain laut.

Baik "Hamburg Rules" atau "Rotterdam Rules" memiliki tujuan yang sama, yaitu mengubah sistem "Hague (Visby) Rules" dan lebih mengedepankan kepastian hukum.

Meski secara umum filosofi pokok di balik "Hague (Visby) Rules", "Hamburg Rules" atau "Rotterdam Rules" adalah sebagai proteksi terhadap pemilik barang, dengan memberikannya hak2 yang bercokol pada hubungannya dengan pemilik kapal, tapi opini umum yang diterima adalah "Hague (Visby) Rules" lebih berpihak kepada kepentingan pemilik kapal.

Sebaliknya, dibandingkan dengan "Hague (Visby) Rules, tanggung jawab carrier berdasarkan "Hamburg Rules" dan "Rotterdam Rules" memang lebih menguntungkan shipper. 

Ini misalnya bisa kita lihat dari periode tanggung jawab pemilik kapal, yaitu sejak barang diterima untuk dibawa dan diserahkan, "from door to door" tidak lagi "from tackle to tackle" apalagi "from port to port".

Terkait defence yang tersedia bagi carrier dalam "Rotterdam Rules" juga telah dilemahkan secara nyata dengan penghapusan "nautical fault", yang menjadikan carrier bertanggung jawab atas kerusakan karena "error in navigation".

Lainnya adalah pembatasan tanggung jawab carrier berdasarkan "Rotterdam Rules" yang senilai SDR 875 per package atau SDR 3 lebih besar dari "Hamburg Rules" yaitu sebesar SDR 835 per package atau SDR 2.5 per kilogram.


  

Apakah Proteksi "Marine Insurance" Masih Diperlukan?


Dengan semakin berkembangnya "cargo regime liability" ke arah yang lebih fair, apakah proteksi marine insurance masih diperlukan?

Pemilik barang yang membeli proteksi asuransi cargo, jika mengalami kerugian selama barang dalam custody pihak carrier dapat mengajukan klaim ke perusahaan asuransi.

Sementara klaimnya diproses, sesuai persyaratan polis, si pemilik barang diwajibkan menggunakan hak tuntutnya ke pihak yang dianggap bertanggung jawab, dalam hal ini carrier & mengalihkan hak tuntutnya (subrogasi) ke perusahaan asuransi sebelum dilakukan pembayaran klaim.

Pemilik barang sebenarnya dapat memilih apakah mendapatkan ganti rugi dari asuransi atau dari carrier.

Di sinilah pemilik barang harus jeli dalam menakar & memutuskan mana upaya yang lebih efektif & menguntungkan dirinya.

Jika ia harus menuntut pihak carrier, upaya yang haris ditempuh tidak mudah karena menyangkut aspek hukum yang cukup kompleks.

Dalam konteks "Hamburg (Visby) Rules" atau "Hamburg Rules" setidaknya beberapa isu di bawah ini harus dipelajari untuk memastikan posisi shipper terhadap carrier.

  1. Rezim yang berlaku, di dalamnya termasuk jenis kontrak (dokumen & pelayaran), periode jaminan, jenis barang & identitas Pengangkut
  2. Kewajiban Pengangkut
  3. Hak dan Kekebalan - Klausula Pengecualian
  4. Batas Waktu & Pembatasan Tanggung Jawab

Bandingkan jika membeli proteksi asuransi, pemilik barang memang tidak akan mendapatkan ganti rugi penuh karena ada faktor pengurang nilai ganti rugi yang sudah umum disepakati di dalam polis. Tapi setelah mendapatkan ganti rugi asuransi, pemilik barang tidak perlu repot & buang waktu membaca & menafsirkan aturan2 yang cukup kompleks dari segi hukum.

Seperti sudah disinggung di atas, jika carrier dapat membuktikan bahwa mereka sudah menyediakan kapal yang "seaworthy" maka carrier dapat menggunakan kekebalan yang diberikan di kontrak pengangkutan.

Belum lagi ada pembatasan waktu pelaporan sejak serah terima barang, jika misal pemilik barang dapat membuktikan carrier bersalah pun, carrier masih dapat melimit tanggung jawabnya.

Bagaimana dengan "Rotterdam Rules"?

Secara garis besar prinsipnya sama, karena "Rotterdam Rules" juga berisi daftar kejadian atau situasi yang tipikal dengan "Hague (Visby) Rules" yang dapat membebaskan carrier dari tanggung jawabnya, misalnya:
  • Act of God
  • Perils of the sea
  • War
  • Hostilities
  • Piracy
  • Fire
  • etc.
Karenanya, kompensasi dari carrier tidak selalu jelas.

Jadi, biarkan lawyer atau recovery agent yang ditunjuk asuransi yang melakukan tuntutan ke carrier atas nama perusahaan asuransi dengan cara membeli proteksi asuransi.


(Dirangkum dari berbagai sumber)


(Gambar courtesy to www.lexisnexis.com) 


General Average dan Kaitannya Dengan Eksekusi Putusan Pengadilan Asing

Dalam pergaulan internasional, khususnya yang berhubungan dengan praktek arbitrase, dunia internasional masih memandang Indonesia sebagai “an arbitration unfriendly country” karena resisten dalam melaksanakan putusan arbitrase internasional meskipun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi New York Tahun 1958 melalui UU No 30 Tahun 1999.

Contoh terakhir yang belum lama mengemuka adalah kasus sengketa antara Pertamina dengan Karaha Bodas Co. LLC (KBC) dimana Pertamina dikalahkan oleh KBC di Arbitrase Uncitral, Jenewa, Swiss, pada 18 Desember 2000 dan karenanya diharuskan membayar sejumlah uang yang nilainya sangat besar akibat pembatalan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Bodas pada tahun 1997.


Tetapi yang terjadi kemudian dengan alasan bertentangan dengan ketertiban umum, Pertamina mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pada 27 Agustus 2002 pengadilan mengabulkan permohonan Pertamina untuk menolak pelaksanaan keputusan arbitrase internasional.

Hal ini menimbulkan kesan buruk karena ketidakpastian hukum di Indonesia yang menyebabkan calon investor enggan untuk menanamkan modalnya atau bagi kolega-kolega bisnis untuk sekedar menjalin hubungan dengan pengusaha di Indonesia. Padahal UU No 30/199 yang dibuat pasca krisis ekonomi tahun 1997/1998 dimaksudkan untuk merangsang perbaikan iklim investasi.

Di satu sisi, sikap resisten hakim-hakim di Indonesia dalam melaksanakan keputusan pengadilan asing bukan tanpa sebab.

M. Yahya Harahap dalam buku “Hukum Acara Perdata” menjelaskan bahwa putusan-putusan pengadilan asing tidak dapat langsung dieksekusi di wilayah hukum RI kecuali undang-undang mengatur sebaliknya. Hal ini didasari pada Pasal 436 ‘Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering’ (RV).

Terkait dengan masalah ini, ada salah satu cabang ilmu maritim yang melibatkan banyak pihak pada saat terjadinya musibah yang disebut dengan kerugian umum atau "averij grosse" atau "general average", kita singkat saja dengan "GA"

Domisili pihak-pihak yang terlibat sangat mungkin berada di beberapa negara sementara lokasi musibahnya bisa terjadi di negara yang berbeda, sehingga spektrum masalahnya sudah lintas batas negara.

Secara sederhana tindakan "GA" yang dilakukan oleh abk kapal akan memberikan dasar bagi pemilik kapal untuk meminta kontribusi kepada pihak-pihak yang mendapatkan benefit karena kepentingannya ikut terselamatkan dengan telah dilakukan tindakan "GA" tersebut.

Karena melibatkan banyak pihak pengirim (shipper) maka jika terjadi "GA" biasanya akan memakan waktu yang relatif lama dalam hal penyelesaiannya, yang secara garis besar meliputi:

• Pemberitahuan ke setiap pihak yang berkepentingan (deklarasi GA)

• Pengumpulan dokumen terkait informasi barang yang ada di atas kapal dari masing-masing shipper

• Menaksir nilai masing-masing kepentingan yang ikut terselamatkan, baik itu kapal, barang atau freight

• Menghitung nilai kontribusi masing-masing pihak

• Menerbitkan "statement of GA"

Dalam hal ini mungkin tidak ada masalah dengan aturan yang akan dijadikan rujukan dalam penyelesaian perhitungan GA karena biasanya sudah disebutkan di dalam bill of lading yang diterbitkan pihak pelayaran (Carrier) sebagai klausula standarnya, misalnya York-Antwerp Rules (YAR) 1974 atau YAR 1994 dan yang terbaru YAR 2004.

Yang berpotensi jadi masalah adalah apabila terjadi dispute atau sengketa dalam proses penyelesaian GA dan berujung pada proses litigasi di pengadilan luar negeri dan kebetulan salah satu pihak yang bersengketa itu adalah shipper yang berkedudukan di Indonesia.

Sengketa antara pihak-pihak seyogyanya bisa diselesaikan dengan mengacu kepada kontrak yang telah disepakati sebelumnya meski model penyelesaiannya mungkin mengacu ke hukum asing, 
tanpa perlu melalui proses litigasi. Hal ini karena umumnya kontrak-kontrak internasional sudah ada klausula yang mengatur pilihan hukum (choice of law) di dalamnya.

Untuk sengketa yang sampai ke proses litigasi, seandainya keluar putusan pengadilan yang memenangkan pihak Carrier yang berdomisili di luar negeri, apakah putusan hakim asing tersebut dapat langsung dilaksanakan tanpa harus mengadilinya lagi di Indonesia? Apakah hakim di pengadilan Indonesia terikat pada putusan hakim asing tersebut?

Secara universal, sudah sejak lama dianut asas bahwa putusan-putusan badan peradilan suatu negara tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara lain. Dengan kata lain, putusan hakim suatu negara hanya dapat dilaksanakan di wilayah negaranya saja yang dikenal dengan "Territorial Sovereignty Principles" atau prinsip kedaulatan teritorial.

Jadi umumnya putusan hakim di negara asing tidak dapat (langsung) dilaksanakan di Indonesia.


Dikatakan "umumnya" karena dalam hal-hal tertentu ada putusan hakim di negara asing yang bisa dilaksanakan di Indonesia, termasuk di antaranya adalah perhitungan "GA" seperti dijelaskan dalam KUHD Pasal 724.

Pengecualian terhadap Pasal 436 RV ini juga dijelaskan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya yang menyatakan bahwa:
“…ayat terakhir Pasal ini, dimungkinkan mengadakan perhitungan dan pembagian averij di luar Indonesia. Apabila diadakan di luar Indonesia, dan kemudian dijatuhkan putusan meskipun itu putusan Hakim Asing atau berdasarkan wewenang kekuasaan asing, putusan itu mengikat untuk diakui dan dieksekusi oleh pengadilan Indonesia…”

Jadi, untuk masalah perhitungan "GA" sekiranya terjadi sengketa yang sampai ke pengadilan di luar negeri, apabila hakim di pengadilan asing sudah mengeluarkan keputusannya, maka sepatutnya pemilik kepentingan yang berdomisili di Indonesia dan ikut menikmati benefit dengan dilakukannya tindakan "GA" oleh Carrier harus tunduk kepada putusan tersebut yang dalam pelaksanaan konkritnya membayar kontribusi "GA".