Sabtu, 25 Juni 2016

Polis Marine Hull "All Risks"?

Di pasar asuransi marine, khususnya marine hull yang berkiblat ke London market, tersedia beberapa produk asuransi yang memberikan proteksi atas rangka kapal (hull), selain juga polis pengangkutan(cargo).

Polis marine hull, yang paling populer & masih sering digunakan adalah polis "Insitute Time Clauses (ITC) Hulls 1/10/83", dengan 3 macam varian:

1. ITC Hulls 1/10/83 dengan kode CL.280

2. ITC Hulls 1/10/83 Total Loss, General Average, & 3/4ths Collision Liability (Including Salvage, Salvage Charges and Sue & Labor) dengan kode CL.284

3. ITC Hulls 1/10/83 Total Loss Only (Including Salvage, Salvage Charges and Sue & Labor) dengan kode CL.289

Praktisi asuransi umumnya lebih senang & mudah menyebut kodenya untuk merujuk ke polis tertentu, misalnya CL.280 atau CL.284 atau CL.289.

CL.280 memiliki proteksi paling lengkap, CL.284 proteksinya moderat (penulis biasa menyebutnya "Total Loss plus plus") sedangkan CL.289 proteksinya paling sempit.

Selain 3 macam polis di atas yang periode penutupannya berdasarkan "time" (waktu) yang umumnya 12 bulan, ada juga polis "Institute" yang berdasarkan "voyage" (pelayaran), yaitu dari satu tempat ke tempat lainnya.

Polis berdasarkan "voyage" atau disingkat "IVC" ini lazim digunakan untuk kapal-kapal dalam pengiriman. Misalnya, seorang pengusaha yang baru membeli kapal & ingin mengirim ke domisilinya dimana kapal akan dioperasikan. Untuk memproteksi kapal yang baru dibelinya, ia dapat membeli polis marine hull berdasarkan "voyage". Proteksi ini berjalan dari sejak kapal memulai pelayaran dari pelabuhan asal sampai tiba di pelabuhan tujuan yang keduanya disebut di dalam polis.

Polis asuransi marine cargo sejatinya berdasarkan konsep "voyage policy" karena memberikan proteksi atas barang selama dalam pelayaran dari pelabuhan asal sampai pelabuhan tujuan.

Untuk sekedar refresh ingatan, ketika belajar dasar2 asuransi, ada bahasan mnegenai "peril system" yang terdiri dari "named perils" dan "unnamed perils".

Disebut "named perils" karena risikonya disebut di dalam polis dan sebaliknya disebut "unnamed perils" karena risikonya tidak disebut di dalam polis. Yang disebut terakhir ini sering diasosiasikan dengan "all risks policy".

Meski disebut "all risks policy" tetapi sejatinya tidak semua risiko dijamin karena tetap ada pengecualian (exclusions).

Pertanyaannya, apakah varian polis marine hull terbitan "Institute" termasuk "named perils" atau "all risks policy"?

Untuk mendapatkan jawabannya kita baca saja polisnya & kita akan temukan salah satu klausula (6) di ITC atau klausula (4) di IVC isinya adalah daftar risiko (penyebab) yang dijamin (peril clause).

Jadi, semua varian polis ITC Hulls, tidak ada yang "all risks", bahkan polis terbitan terbaru pun, "International Hull Clauses (IHC) 1/11/03" atau polis yang sebelumnya kurang "acceptable" di market, ITC 1/11/95 juga "named perils".

Tulisan dengan tema yang sepertinya sepele ini didasarkan pada pengalaman penulis yang tergelitik mendengar masih banyak praktisi asuransi yang menyebut CL.280 sebagai polis "All Risks".

Entah apa alasan pastinya bahkan ada perusahaan asuransi yang terang2an menuliskan "All Risks" di polis ITC Hulls 1/10/83 dengan kode CL.280, hal yang menurut pemahaman penulis sesuai penjelasan di atas sebenarnya kurang tepat.

Penulis, jika merujuk ke CL.280, lebih proper & nyaman menyebutnya sebagai polis "jaminan luas" atau "comprehensive".

Sebagai informasi pembanding, polis marine hull yang masuk kategori "All Risks" bisa kita temui di Eropa tetapi di luar London market, yaitu polis yang umum digunakan di negara-negara Nordic dengan nama "The Nordic Marine Insurance Plan" atau biasa disebut "The Plan" yang dibuat berdasarkan "Norwegian Marine Insurance Plan (NMIP) 1996".

Rabu, 22 Juni 2016

Bill of Lading Bukan Kontrak (Pengangkutan)

Bill of lading mungkin tidak asing bagi praktisi yang sehari-hari bergelut di bidang shipping namun bagi praktisi di bidang asuransi, terutama marine insurance, dokumen yang disebut bill of lading ini mungkin baru dipandang sebatas dokumen pelengkap/pendukung dalam 2 situasi, yaitu:


1. Pada saat penempatan risiko atau proses underwriting; dan

2. Pada saat terjadi klaim.

Pada situasi yang pertama, seorang underwriter membutuhkan bill of lading, mungkin tidak lebih hanya untuk mengetahui informasi yang terkait dengan pelayaran, alat angkut dan jenis barang yang akan diangkut serta cara pengangkutannya.

Pada situasi kedua, bill of lading dibutuhkan oleh claim officer untuk memverifikasi informasi awal saat proses underwriting dengan aktualisasinya.

Padahal, dalam bidang maritime law, sedemikian pentingnya fungsi bill of lading sehingga dokumen ini disematkan label sebagai "the key to the warehouse".

Dalam kalimat yang sederhana berarti seseorang yang ingin mengambil barang dari gudang (shipping line) harus menggunakan bill of lading sebagai kuncinya.

Sebagian besar literatur mengenai bill of lading, umumnya menulis fungsi bill of lading ada 3, yaitu:

  1. Evidence of receipt (sebagai bukti tanda terima)
  2. Evidence of contract of carriage (sebagai bukti adanya kontrak pengangkutan)
  3. Sebagai "document of title"

Penjabaran fungsi ini sesuai dengan keputusan Lord Bramwell dalam kasus "Sewell v. Burdick, (1884)" dalam kalimat berikut:

"A bill of lading has in the eyes of the law, various aspects:

1. It is very good evidence of the contract of affreightment, though not the contract itself, for the contract is usually entered into before the bill of lading is signed.

2. It is a receipt for the goods shipped and contains certain admissions as to their quantity and condition when put on board.

3. It is a document of title, without which delivery of the goods cannot normally be obtained"

Pandangan yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Simon Baughen, seorang solicitor yang menulis buku terkenal "Shipping Law", yaitu:

  1. Receipt
  2. Document transferring constructive possession
  3. Document of title
  4. A potentially transferable carriage contract

Namun jika kita baca penjabarannya, kurang lebih sama dengan 3 fungsi yang sudah diuraikan di atas.

Dari ketiga fungsi yang semuanya penting tersebut, fungsi sebagai "document of title" merupakan fungsi paling sentral & berhubungan erat dengan bidang komersial yang melalui moda angkutan laut.

Mengenail fungsi bill of lading sebagai "document of title" karena cukup kompleks dari aspek legal & akan kita bahas di tulisan terpisah.


Bill of Lading as Evidence of Receipt

Ini adalah fungsi bill of lading sejak pertama kali digunakan dalam historisnya yang berkembang dari kebiasaan yang menggantikan kebiasaan sebelumnya dimana shipper/seller ikut berlayar bersama barangnya.

Di dalam pengangkutan barang dengan kapal laut ada aturan umum yang berlaku, mengutip dari keputusan Lord Summer dalam kasus "Bradley v. Federal Steam, etc, Co. (1927)", yaitu bahwa pihak carrier harus menyerahkan:

"What she received as she received it, unless relieved by the excepted perils”

Bill of lading sebagai bukti tanda terima akan menyebutkan kondisi dan jumlah barang yang diserahkan ke dalam penguasaan carrier.

Jika barang yang diserahterimakan dari shipper sudah sesuai dengan kondisi dan jumlah yang diterima oleh carrier atau "apparent good order and condition" maka bill of lading dinyatakan "clean".

Sebaliknya, jika kondisi atau jumlah barang yang diterima oleh carrier tidak "apparent good order and condition" saat dimuat dan bill of lading diberikan catatan, maka dinyatakan sebagai "unclean" atau "claused".

Pentingnya bill of lading sebagai bukti tanda terima karena dokumen ini dianggap sebagai pengakuan yang mengikat mengenai barang yang dimuat ke atas kapal.


Bill of Lading as Evidence of Contract of Carriage

Untuk fungsi ini, banyak praktisi, khususnya di asuransi, yang mengira bahwa bill of lading adalah kontrak pengangkutan, sebuah anggapan yang keliru.

Dalam hubungan antara carrier dan shipper, bill of lading itu sendiri bukan sebuah kontrak pengangkutan, tapi sebatas bukti adanya kontrak tersebut.

Sumber yang dikutip untuk dalil ini adalah "obiter dictum" Lord Bramwell di kasus "Sewell v. Burdick (1884)" ketika membahas mengenai "Bills of Lading Act 1855" dengan kalimat:

“There is, I think, another inaccuracy in the statute....It speaks of the contract contained in the bill of lading. To my mind, there is no contract in it. It is a receipt for the goods, stating the terms on which they were delivered to and received by the ship, and therefore excellent evidence of those terms, but it is not a contract.”

Diktum ini kemudian diterima sebagai hukum positif di Inggris sampai sekarang, sesuai pernyataan Lord Goddard dalam kasus "The Ardennes (1950)" yang menyatakan bahwa:

"...a bill of lading is not in itself the contract between the shipowner and the shipper of goods, though it has been said to be excellent evidence of its terms..."

Pada kenyataannya, sebelum realisasi pengapalan barang dan bill of lading diterbitkan, antara shipper dan carrier sudah ada kesepakatan mengenai pengangkutan barang.


(Dirangkum dari berbagai sumber)

Minggu, 19 Juni 2016

Quo Vadis General Average: Dipertahankan atau Dihapus?

Sepintas General Average


Menurut Profesor William Tetley, seorang pakar kenamaan dalam bidang maritime law dari Kanada, general average adalah bentuk penyebaran risiko transportasi laut yang sudah eksis sejak lama sebelum marine insurance.

General average berasal dari konsep kuno dan dapat dilacak ke "lex Rhodia de lactu" yang kemungkinan ada di abad ke-4 BC:

“The Rhodian law decrees that, if in order to lighten a ship, merchandise has been thrown overboard, that which has been given for all should be replaced by the contribution of all”

Konsep ini telah mengalami reformasi beberapa kali dan masih tetap berlaku di perdagangan maritim moderen saat ini.

Meski general average dan marine insurance sama-sama cabang ilmu marimite law yang berdiri sendiri, tapi keduanya sangat erat berkaitan karena polis marine, baik hull, cargo dan freight memberikan jaminan atas kontribusi biaya general average yang harus ditanggung oleh masing-masing interest.


Penyeragaman Aturan

Dalam perjalanannya, klaim general average di industri maritim demikian banyak sementara aplikasinya bervariasi sehingga dalam sebuah konferensi di Glasgow tahun 1860 diadopsi beberapa resolusi untuk menyeragamkan aturan mengenai general average yang dikenal dengan "The Glasgow Resolutions".

Dalam Kongres Internasional mengenai General Average tahun 1864 dihasilkan 11 Rules penyeragaman yang dikenal dengan "The York Rules".

Tahun 1877 diadakan konferensi lanjutan mengenai general average di kota Antwerp untuk mereformasi "York Rules 1864" sehinggal dihasilkan "The York and Antwerp Rules" yang mulai dilekatkan ke dalam bill of lading, charterparty dan polis marine insurance sejak tanggal 1 Januari 1877.

Dalam konferensi di Liverpool tahun 1890, diadopsi beberapa penambahan aturan penyeragaman yang dikenal dengan nama yang digunakan hingga sekarang, "The York-Antwerp Rules" atau biasa disingkat dengan YAR.

Selanjutnya, dilakukan lagi beberapa reformasi aturan pada tahun 1924, 1950, 1974, 1994 dan 2004.

Yang terkini adalah disetujuinya YAR 2016 dalam konferensi internasional ke-42 Comite Maritime International (CMI) dari tanggal 3 Mei s/d 6 Mei 2016 di New York.


Masa Depan General Average

Konsep general average mungkin salah satu cabang ilmu maritime law yang paling banyak mendapat kritik meski sudah berkembang sejak ratusan tahun yang lalu.

Sejak tahun 1877, konsep general average sudah mendapatkan kritikan dari kalangan praktisi di industri maritim.

Hingga kini, secara garis besar kritik yang paling sering disuarakan antara lain:

  1. Terlalu kompleks
  2. Memakan waktu lama
  3. Terlalu mahal
  4. Sistemnya rentan disalahgunakan oleh pengusaha kapal yang nakal


Argumentasi Kontra General Average

General average dinilai sangat memakan waktu dan berbiaya mahal. Misalnya, jika kapal kontainer yang menjadi subyek dalam general average maka akan melibatkan ribuan kontainer dengan ribuan kepentingan dan masing-masing memiliki asuransi marine cargo yang berbeda. Makin banyak kepentingan cargo yang terlibat, makin lama pula penyelesaiannya karena general average melibatkan penyelesaian dari banyak perusahaan asuransi.


Terlepas dari dispute yang muncul, keterlambatan sudah mulai terjadi sejak dari menyiapkan waktu yang dibutuhkan untuk meminta jaminan general average, mengumpulkan dokumentasi dan penyelesaian klaimnya jika pernyataan final sudah dikeluarkan.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh UNCTAD dan dituangkan dalam sebuah laporan tahun 1994, hampir semua responden yang ditanya, consignee tidak familiar dengan general average dan di sisi lain shipowner menemui kesulitan jika harus meminta jaminan karena consignee tidak mengerti general average dan banyak yang tidak mengasuransikan muatannya. Banyak juga responden yang memberikan tanggapan bahwa sistem general average terlalu kompleks dan membutuhkan penyederhanaan, serta banyak permasalahan lainnya.

Laporan yang sama menyebutkan di dalam salah satu kesimpulannya bahwa tidak ada atau sedikit tempat bagi general average di marine insurance atau di perdagangan maritim secara keseluruhan. Beberapa komunitas di industri marine insurance malah menyuarakan cara efektif untuk menyederhanakan general average adalah dengan menghilangkannya sama sekali.

Sebuah laporan/rekomendasi yang dibuat oleh kantor pengacara di Amerika Serikat pada tahun 2013 menyebutkan bahwa setelah dikeluarkannya General Average Statement tidak serta merta menghasilkan resolusi. Kadang-kadang nilai kontribusi masih harus dihitung oleh pengadilan atau badan arbitrase, yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Meskipun general average memberikan aturan-aturan yang spesifik, tapi berkebalikan dalam prakteknya karena kompleksnya perhitungan dan/atau proses litigasi. 

Menurut Profesor William Tetley:

"General average was a useful concept before the advent of marine insurance. It has grown far beyond its original parameters and has become more and more oriented in favour of shipowners and the average adjusting profession. It serves little beneficial use, while it is a complicated, expensive, often unfair and time-consuming mechanism, and out of step with contemporary thinking and practice in other fields of transportation law"


Argumentasi Pro General Average

Bagaimana kemudian mengetahui pandangan dari pihak-pihak yang mendukung upaya agar general average tetap dipertahankan?

Tahun 1996, sebuah kelompok yang terdiri dari spesialis di bidang marine insurance yang tergabung dalam Association of Average Adjuster, memberikan pandangannya bahwa jika general average dihapus, apakah dengan perubahan hukum atau kontrak, semua kerugian dan biaya yang saat ini dibagi antara kapal dan muatan, jadi tidak dibagi, maka metode lain mengenai harus dibuat dan sistem yang sudah mapan akan berakhir menuju ketidakpastian.

Menurut International Chamber of Shipping dalam Makalah yang diterbitkan tahun 2004, misalnya menyebutkan bahwa general average adalah solusi praktis untuk mendistribusikan kerugian yang timbul karena insiden maritim yang besar dan sistemnya sudah dipahami secara internasional.

Terlepas dari disetujuinya YAR 2016 belum lama ini, tapi pertarungan antara Asuransi (diwakili antara lain oleh IUMI) yang ingin mengurangi peran general average dengan Shipping (diwakili salah satunya oleh BIMCO) yang berusaha untuk mempertahankan general average belum sepenuhnya selesai & masih akan terus berlanjut.

Apakah cabang ilmu maritime law ini akan benar-benar dihapus? Kita tunggu saja perkembangannya.


(Diolah dari berbagai sumber)



(Picture courtesy to www.defiantmarine.net)

Rabu, 15 Juni 2016

"Hague Rules", "Hague-Visby Rules", "Hamburg Rules" dan "Rotterdam Rules" - Masih Perlukan Proteksi "Marine Insurance"?

Sepintas "Hague Rules 1924"

"Hague Rules" yang diadopsi di Brussel tahun 1924, adalah skema untuk penyeragaman bill of lading yang meniru kompromi pembagian risiko antara pengangkut dan pemilik barang dalam "Harter Act" yang diberlakukan di Amerika Serikat.

Disebut "Hague Rules" karena proyek penyusunan aturan ini dimulai saat pertemuan International Law Association (ILA) di kota Hague, Belanda, tahun 1921. Hasil dari pertemuan di Hague ini kemudian diadopsi oleh perwakilan-perwakilan diplomatik dalam sebuah konvensi di Brussel tahun 1924.




Sepintas "Hague-Visby Rules 1968"


Setelah itu ada "Hague-Visby Rules yang sederhananya adalah "Hague Rules" dengan sedikit perubahan yang dibuat berdasarkan kepentingan mengkoreksi beberapa kesulitan yang ditemui sejak diberlakukan 44 tahun sebelumnya.

"Hague-Visby Rules 1968" berisi amandemen atas "Hague Rules" yang diadopsi dalam "Protocol to Amend the International for the Unification of Certain Rules of Law Relating to Bills of Lading"Baik "Hague Rules" atau "Hague-Visby Rules", keduanya membebankan kewajiban bagi carrier di laut menurut kontrak pengangkutan yang diatur dalam bill of lading.

Kewajiban prinsip carrier adalah "exercise due diligence to provide seaworthy ship" (Art. III Rule 1) dan menjaga muatan (Art. III Rule 2).

Kewajiban menjaga muatan secara tersurat tunduk pada daftar pengecualian terhadap tanggung jawab atas kerugian dan kerusakan barang yang timbul dari keadaan yang terdapat dalam Article 4.2.

Carrier juga harus menunjukkan bahwa mereka telah memenuhi tanggung jawab utamanya mengenai "seaworthiness" dari kapal sesuai Article III Rule 1 sebelum mereka dapat menggunakan pengecualian dalam Article 4.2.

Ketentuan-ketentuan dalam Article 4.2 umumnya merefleksikan pengecualian yang terdapat dalam kontrak pelayaran dan "regime liability" lainnya yang berlaku pada saat "Hague Rules" diadopsi.

Pengecualian di Article 4.2 sendiri adalah bawaan dari "Hague Rules" dan tidak berubah di dalam "Hague-Visby Rules".




Sepintas "Hamburg Rules 1978"


"Hamburg Rules" adalah seperangkat aturan internasional dalam hal pengiriman barang lewat laut, yang dihasilkan dari "United Nations International Convention on the Carriage of Goods by Sea" yang diadopsi tahun 1978 di Hamburg.

"Hamburg Rules" sebagian besar disusun sebagai jawaban atas perhatian dari negara2 berkembang yang menilai "Hague Rules" tidak fair dalam beberapa aspek. Perhatian ini didasarkan fakta yang mereka lihat bahwa "Hague Rules" disusun oleh negara2 maritim kolonial dan untuk keperluan mengamankan dan mengembangkan kepentingan mereka dengan mengorbankan negara lain.

Menurut "Hamburg Rules", pihak carrier harus bertanggung jawab atas kerusakan atau kerugian dari barang kecuali carrier dapat membuktikan bahwa mereka telah mengambil langkah2 wajar untuk mencegah kerugian.

  
Sepintas "Rotterdam Rules 2009"

Aturan ini masih relatif baru yang diadopsi pada tanggal 11 Desember 2008 dari "Convention of Contracts for the International Carrying of Goods Wholly or Partly by Sea" dalam Sidang Umum PBB dan mengesahkan upacara penandatanganan Konvensi pada tanggal 20 s/d 23 September 2009, di Rotterdam, Belanda.

"Rotterdam Rules" diadopsi oleh "United Nations Commission on International Trade Law" (UNCITRAL) diharapkan akan menggantikan "regime liability" yang masih eksis, yaitu "Hague (Visby) Rules" dan "Hamburg Rules".

Sebanyak 24 negara termasuk Amerika Serikat & negara-negara terkemuka di Eropa semisal Belanda, Denmark, Perancis, Spanyol dan Swiss sudah menandatangani "Rotterdam Rules".

Para pemilik kapal meyakini bahwa aturan baru ini akan menimplementasikan keseragaman "cargo liability" secara global, memfasilitasi "e-commerce" yang menggunakan dokumen elektronik, merefleksikan pelayanan terkini "door to door" yang melibatkan moda angkutan lain selain laut.

Baik "Hamburg Rules" atau "Rotterdam Rules" memiliki tujuan yang sama, yaitu mengubah sistem "Hague (Visby) Rules" dan lebih mengedepankan kepastian hukum.

Meski secara umum filosofi pokok di balik "Hague (Visby) Rules", "Hamburg Rules" atau "Rotterdam Rules" adalah sebagai proteksi terhadap pemilik barang, dengan memberikannya hak2 yang bercokol pada hubungannya dengan pemilik kapal, tapi opini umum yang diterima adalah "Hague (Visby) Rules" lebih berpihak kepada kepentingan pemilik kapal.

Sebaliknya, dibandingkan dengan "Hague (Visby) Rules, tanggung jawab carrier berdasarkan "Hamburg Rules" dan "Rotterdam Rules" memang lebih menguntungkan shipper. 

Ini misalnya bisa kita lihat dari periode tanggung jawab pemilik kapal, yaitu sejak barang diterima untuk dibawa dan diserahkan, "from door to door" tidak lagi "from tackle to tackle" apalagi "from port to port".

Terkait defence yang tersedia bagi carrier dalam "Rotterdam Rules" juga telah dilemahkan secara nyata dengan penghapusan "nautical fault", yang menjadikan carrier bertanggung jawab atas kerusakan karena "error in navigation".

Lainnya adalah pembatasan tanggung jawab carrier berdasarkan "Rotterdam Rules" yang senilai SDR 875 per package atau SDR 3 lebih besar dari "Hamburg Rules" yaitu sebesar SDR 835 per package atau SDR 2.5 per kilogram.


  

Apakah Proteksi "Marine Insurance" Masih Diperlukan?


Dengan semakin berkembangnya "cargo regime liability" ke arah yang lebih fair, apakah proteksi marine insurance masih diperlukan?

Pemilik barang yang membeli proteksi asuransi cargo, jika mengalami kerugian selama barang dalam custody pihak carrier dapat mengajukan klaim ke perusahaan asuransi.

Sementara klaimnya diproses, sesuai persyaratan polis, si pemilik barang diwajibkan menggunakan hak tuntutnya ke pihak yang dianggap bertanggung jawab, dalam hal ini carrier & mengalihkan hak tuntutnya (subrogasi) ke perusahaan asuransi sebelum dilakukan pembayaran klaim.

Pemilik barang sebenarnya dapat memilih apakah mendapatkan ganti rugi dari asuransi atau dari carrier.

Di sinilah pemilik barang harus jeli dalam menakar & memutuskan mana upaya yang lebih efektif & menguntungkan dirinya.

Jika ia harus menuntut pihak carrier, upaya yang haris ditempuh tidak mudah karena menyangkut aspek hukum yang cukup kompleks.

Dalam konteks "Hamburg (Visby) Rules" atau "Hamburg Rules" setidaknya beberapa isu di bawah ini harus dipelajari untuk memastikan posisi shipper terhadap carrier.

  1. Rezim yang berlaku, di dalamnya termasuk jenis kontrak (dokumen & pelayaran), periode jaminan, jenis barang & identitas Pengangkut
  2. Kewajiban Pengangkut
  3. Hak dan Kekebalan - Klausula Pengecualian
  4. Batas Waktu & Pembatasan Tanggung Jawab

Bandingkan jika membeli proteksi asuransi, pemilik barang memang tidak akan mendapatkan ganti rugi penuh karena ada faktor pengurang nilai ganti rugi yang sudah umum disepakati di dalam polis. Tapi setelah mendapatkan ganti rugi asuransi, pemilik barang tidak perlu repot & buang waktu membaca & menafsirkan aturan2 yang cukup kompleks dari segi hukum.

Seperti sudah disinggung di atas, jika carrier dapat membuktikan bahwa mereka sudah menyediakan kapal yang "seaworthy" maka carrier dapat menggunakan kekebalan yang diberikan di kontrak pengangkutan.

Belum lagi ada pembatasan waktu pelaporan sejak serah terima barang, jika misal pemilik barang dapat membuktikan carrier bersalah pun, carrier masih dapat melimit tanggung jawabnya.

Bagaimana dengan "Rotterdam Rules"?

Secara garis besar prinsipnya sama, karena "Rotterdam Rules" juga berisi daftar kejadian atau situasi yang tipikal dengan "Hague (Visby) Rules" yang dapat membebaskan carrier dari tanggung jawabnya, misalnya:
  • Act of God
  • Perils of the sea
  • War
  • Hostilities
  • Piracy
  • Fire
  • etc.
Karenanya, kompensasi dari carrier tidak selalu jelas.

Jadi, biarkan lawyer atau recovery agent yang ditunjuk asuransi yang melakukan tuntutan ke carrier atas nama perusahaan asuransi dengan cara membeli proteksi asuransi.


(Dirangkum dari berbagai sumber)


(Gambar courtesy to www.lexisnexis.com) 


General Average dan Kaitannya Dengan Eksekusi Putusan Pengadilan Asing

Dalam pergaulan internasional, khususnya yang berhubungan dengan praktek arbitrase, dunia internasional masih memandang Indonesia sebagai “an arbitration unfriendly country” karena resisten dalam melaksanakan putusan arbitrase internasional meskipun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi New York Tahun 1958 melalui UU No 30 Tahun 1999.

Contoh terakhir yang belum lama mengemuka adalah kasus sengketa antara Pertamina dengan Karaha Bodas Co. LLC (KBC) dimana Pertamina dikalahkan oleh KBC di Arbitrase Uncitral, Jenewa, Swiss, pada 18 Desember 2000 dan karenanya diharuskan membayar sejumlah uang yang nilainya sangat besar akibat pembatalan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Bodas pada tahun 1997.


Tetapi yang terjadi kemudian dengan alasan bertentangan dengan ketertiban umum, Pertamina mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pada 27 Agustus 2002 pengadilan mengabulkan permohonan Pertamina untuk menolak pelaksanaan keputusan arbitrase internasional.

Hal ini menimbulkan kesan buruk karena ketidakpastian hukum di Indonesia yang menyebabkan calon investor enggan untuk menanamkan modalnya atau bagi kolega-kolega bisnis untuk sekedar menjalin hubungan dengan pengusaha di Indonesia. Padahal UU No 30/199 yang dibuat pasca krisis ekonomi tahun 1997/1998 dimaksudkan untuk merangsang perbaikan iklim investasi.

Di satu sisi, sikap resisten hakim-hakim di Indonesia dalam melaksanakan keputusan pengadilan asing bukan tanpa sebab.

M. Yahya Harahap dalam buku “Hukum Acara Perdata” menjelaskan bahwa putusan-putusan pengadilan asing tidak dapat langsung dieksekusi di wilayah hukum RI kecuali undang-undang mengatur sebaliknya. Hal ini didasari pada Pasal 436 ‘Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering’ (RV).

Terkait dengan masalah ini, ada salah satu cabang ilmu maritim yang melibatkan banyak pihak pada saat terjadinya musibah yang disebut dengan kerugian umum atau "averij grosse" atau "general average", kita singkat saja dengan "GA"

Domisili pihak-pihak yang terlibat sangat mungkin berada di beberapa negara sementara lokasi musibahnya bisa terjadi di negara yang berbeda, sehingga spektrum masalahnya sudah lintas batas negara.

Secara sederhana tindakan "GA" yang dilakukan oleh abk kapal akan memberikan dasar bagi pemilik kapal untuk meminta kontribusi kepada pihak-pihak yang mendapatkan benefit karena kepentingannya ikut terselamatkan dengan telah dilakukan tindakan "GA" tersebut.

Karena melibatkan banyak pihak pengirim (shipper) maka jika terjadi "GA" biasanya akan memakan waktu yang relatif lama dalam hal penyelesaiannya, yang secara garis besar meliputi:

• Pemberitahuan ke setiap pihak yang berkepentingan (deklarasi GA)

• Pengumpulan dokumen terkait informasi barang yang ada di atas kapal dari masing-masing shipper

• Menaksir nilai masing-masing kepentingan yang ikut terselamatkan, baik itu kapal, barang atau freight

• Menghitung nilai kontribusi masing-masing pihak

• Menerbitkan "statement of GA"

Dalam hal ini mungkin tidak ada masalah dengan aturan yang akan dijadikan rujukan dalam penyelesaian perhitungan GA karena biasanya sudah disebutkan di dalam bill of lading yang diterbitkan pihak pelayaran (Carrier) sebagai klausula standarnya, misalnya York-Antwerp Rules (YAR) 1974 atau YAR 1994 dan yang terbaru YAR 2004.

Yang berpotensi jadi masalah adalah apabila terjadi dispute atau sengketa dalam proses penyelesaian GA dan berujung pada proses litigasi di pengadilan luar negeri dan kebetulan salah satu pihak yang bersengketa itu adalah shipper yang berkedudukan di Indonesia.

Sengketa antara pihak-pihak seyogyanya bisa diselesaikan dengan mengacu kepada kontrak yang telah disepakati sebelumnya meski model penyelesaiannya mungkin mengacu ke hukum asing, 
tanpa perlu melalui proses litigasi. Hal ini karena umumnya kontrak-kontrak internasional sudah ada klausula yang mengatur pilihan hukum (choice of law) di dalamnya.

Untuk sengketa yang sampai ke proses litigasi, seandainya keluar putusan pengadilan yang memenangkan pihak Carrier yang berdomisili di luar negeri, apakah putusan hakim asing tersebut dapat langsung dilaksanakan tanpa harus mengadilinya lagi di Indonesia? Apakah hakim di pengadilan Indonesia terikat pada putusan hakim asing tersebut?

Secara universal, sudah sejak lama dianut asas bahwa putusan-putusan badan peradilan suatu negara tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara lain. Dengan kata lain, putusan hakim suatu negara hanya dapat dilaksanakan di wilayah negaranya saja yang dikenal dengan "Territorial Sovereignty Principles" atau prinsip kedaulatan teritorial.

Jadi umumnya putusan hakim di negara asing tidak dapat (langsung) dilaksanakan di Indonesia.


Dikatakan "umumnya" karena dalam hal-hal tertentu ada putusan hakim di negara asing yang bisa dilaksanakan di Indonesia, termasuk di antaranya adalah perhitungan "GA" seperti dijelaskan dalam KUHD Pasal 724.

Pengecualian terhadap Pasal 436 RV ini juga dijelaskan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya yang menyatakan bahwa:
“…ayat terakhir Pasal ini, dimungkinkan mengadakan perhitungan dan pembagian averij di luar Indonesia. Apabila diadakan di luar Indonesia, dan kemudian dijatuhkan putusan meskipun itu putusan Hakim Asing atau berdasarkan wewenang kekuasaan asing, putusan itu mengikat untuk diakui dan dieksekusi oleh pengadilan Indonesia…”

Jadi, untuk masalah perhitungan "GA" sekiranya terjadi sengketa yang sampai ke pengadilan di luar negeri, apabila hakim di pengadilan asing sudah mengeluarkan keputusannya, maka sepatutnya pemilik kepentingan yang berdomisili di Indonesia dan ikut menikmati benefit dengan dilakukannya tindakan "GA" oleh Carrier harus tunduk kepada putusan tersebut yang dalam pelaksanaan konkritnya membayar kontribusi "GA".

Senin, 13 Juni 2016

"Bill of Lading" dan Asas "Privity of Contract"

Ketika barang dagangan dikirim melalui laut, pihak pengirim (shipper), yang umumnya adalah sebagai penjual (seller), akan berkontrak dengan pihak pengangkut (carrier), yang dibuktikan dokumen yang disebut dengan bill of lading.

(Catatan: Bill of lading ini sendiri bukan sebuah kontrak tapi bukti "prima facie" adanya sebuah "contract of carriage" yang sudah disepakati oleh pihak-pihak sebelum bill of lading diterbitkan)

Barang kemudian dikirim & ditujukan ke pihak pembeli (buyer) berdasarkan mana endorsemen bill of lading ditujukan.

Masalahnya, di dalam hukum kontrak dikenal prinsip "privity of contract" yang dideskripsikan dalam kalimat berikut:

"A contract cannot, as a general rule, confer rights or impose obligation arising under it on any person except the parties to it" (G.H. Treitel dalam "The Law of Contract")

Intinya pihak yang bukan berkontrak tidak dapat diberikan hak atau dibebankan kewajiban atas kontrak tersebut.

Masalahnya, dalam perniagaan internasional yang menggunakan transportasi laut, ketika pihak seller berkontrak jual beli dengan buyer mereka umumnya akan menyepakati salah satu persyaratan jual beli internasional atau dikenal dengan Incoterms, CIF misalnya.

Berdasarkan Incoterms, dengan kondisi CIF, maka tanggung jawab pihak seller selesai apabila barang sudah dimuat ke atas kapal.

Jadi apabila dalam pelayaran barang mengalami kerusakan dimana menjadi risiko pihak buyer maka umumnya pihak buyer akan meminta tanggung jawab dari pihak carrier atas kerusakan barang tersebut karena diasumsikan barang rusak selama dalam penguasaan (custody) pihak carrier.

Hal ini tentunya merugikan buyer jika barang yang dia terima rusak selama dalam custody pihak carrier sementara pihak seller sudah tidak bertanggung jawab lagi.

Dalam common law, merujuk ke kasus "Tweddle v Atkinson (1861)", pihak buyer tidak bisa menuntut pihak carrier berdasarkan "contract of carriage" karena bukan sebagai pihak yang berkontrak, atau dalam kalimat lain tidak ada "privity" antara buyer dengan carrier.

Pondasi common law untuk solusi masalah ini mulai dikembangkan saat kasus "Dunlop v. Lambert (1839)" diputus pengadilan & kemudian diperbaiki dengan kasus berikutnya, "The Albazero (1976)".

Karena dari perkembangan kasus yang ada dianggap belum cukup efektif maka dilakukan upaya legislasi dengan disetujuinya "Bills of Lading Act 1855", (kemudian dihapus & diganti dengan "The Carriage of Goods by Sea Act 1992").

Undang-undang ini dimaksudkan untuk mengatur perolehan hak-hak dan pembebanan tanggung jawab kepada consignee yang disebut di dalam bill of lading atau pihak yang menerima transfer bill of lading.

Efek dari diberlakukannya "Bills of Lading Act 1855" adalah, pemegang sah bill of lading dapat menggunakan haknya berdasarkan "contract of carriage" untuk menuntut pihak carrier atas kerusakan barang selama dalam pengiriman.

Lalu, pertanyaan umumnya adalah, bagaimana dengan hukum yang berlaku di Indonesia?

Hukum kontrak yang berlaku di Indonesia juga mengenal prinsip yang sama, yaitu asas kepribadian (privity of contract) sebagaimana disebut dalam KUHPerdata Pasal 1315 jo 1340 yang maknanya adalah perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya.

Lebih spesifik, kaitannya dengan bill of lading, pertanyaan berikutnya yang dapat diajukan adalah:

1. Apakah konosemen (bill of lading dalam pengertian KUHD) yang diatur dari pasal 506 KUHD dst (507,509, 510, 513, 514, 515, 516, 517 & 517A) memiliki salah satu karakteristik seperti yang berlaku dalam hukum maritim internasional?

2. Apakah menurut pasal-pasal KUHD yang mengatur mengenai konosemen bahwa endorsemen atas konosemen terhadap seseorang yang ditujukan juga berarti penyerahan hak & kewajiban yang diatur dalam kontrak pengangkutan?

3. Lalu bagaimana solusinya atau apa "remedy" yang tersedia jika pihak buyer di Indonesia menghadapi kasus yang sama dengan contoh kasus yang sudah disinggung di atas? Apakah buyer (jika ia adalah "the lawfull holder") di Indonesia tetap bisa menuntut carrier dengan konosemen yang diterbitkan?

4. Jika berdasarkan hukum Inggris, jembatan penghubung antara pihak ketiga dengan kontrak dimana ia tidak terlibat di dalamnya adalah "Bill of Lading Act 1855" (yang kemudian dihapus & digantikan oleh COGSA 1992), lalu bagaimana jembatan penghubung antara asas kepribadian dengan karakteristik konosemen jika di Indonesia (jika pertanyaaan butir 2 "iya").

  
(Dirangkum dari berbagai sumber)



Minggu, 05 Juni 2016

Kasus "Form E": Hati-Hati Menangani Impor Barang dari China

"ASEAN-China Free Trade Area" (ACFTA), tapi banyak juga yang menyebut CAFTA semata karena singkatannya lebih mudah diucapkan, adalah salah satu skema kerja sama antara negara-negara ASEAN dengan China, dalam hal perdagangan bebas.

CAFTA merupakan tindak lanjut dari "Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of China" yang ditandatangani di Phnom Penh, pada tanggal 4 Nopember 2002.

Sesuai kesepakatan yang dicapai pada "ASEAN-China Summit" yang diselenggarakan di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, pada tanggal 6 Nopember 2001, CAFTA sudah harus terbentuk dalam waktu 10 tahun. Atas dasar itulah, CAFTA mulai berlaku per 1 Januari 2010.

Pemerintah Indonesia mengesahkan "Framework Agreement" dengan Keppres No. 48 Tahun 2004 Tentang "Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of South East Asian Nations And The People's Republic Of China" (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat China), pada tanggal 15 Juni 2004. Inilah dasar hukum dari pemberlakuan CAFTA di Indonesia.

Di tingkat bawah, Keppres dimaksud ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan No 53/PMK.011/2007 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka "ASEAN-China Free Trade" (ACFTA).

Salah satu tujuan "Framework Agreement" CAFTA adalah meliberalkan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif yang diharapkan dapat meningkatkan arus perdagangan kedua belah pihak.

Liberalisasi tarif bea masuk ini terbagi dalam tiga tahap & di antaranya yang berkaitan dengan isu pembahasan dalam tulisan kali ini adalah Tahap Ke-3, yaitu:

Pengaturan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) atau "Certificate of Origin" (COO) berdasarkan "Rules of Origin" (ROO) yang mengharuskan eksportir untuk menggunakan "Form E" agar mendapatkan konsesi tarif CAFTA.

COO/SKA ini masih banyak yang memahaminya adalah sebagai dokumen COO/SKA pada umumnya yang dibutuhkan seseorang ketika ingin melakukan ekspor barang dari negaranya ke negara lain untuk menunjukkan bahwa suatu barang berasal dari negara penerbit COO/SKA.

Padahal COO/SKA yang menggunakan "Form E" adalah dokumen yang berbeda, yaitu dokumen preferensi yang digunakan sebagai persyaratan untuk memperoleh fasilitas berupa pembebasan seluruh atau sebagian bea masuk yang diberikan oleh suatu negara/kelompok negara tujuan.

Dalam skema perdagangan FTA, ada beberapa "Form" lainnya yang termasuk COO/SKA preferensi antara lain:

1. Form “A” Generalized System of Preferences.
2. Form “D” ASEAN Common Effective Prefential Tariff Scheme (CEPT).
3. Form “E” ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA).
4. Form “IJEPA” (Indonesia Japan Economic Partnership Agreement)


Di sinilah kelalaian pihak freight forwarder (cq. PIC PPJK) yang mengurus clearance importasi di Indonesia bermula.

Sepintas, seharusnya kelalaian tersebut dilakukan oleh pihak eksportir di negara asal barang (China) tapi tidak demikian faktanya.

Berdasarkan pengalaman penulis yang kebetulan beberapa kali menangani klaim Forwarder Liability mencatat bahwa sebelum diputuskan untuk mengeksekusi pengiriman barang, pihak eksportir meminta klarifikasi terlebih dahulu dari forwarder yang ditunjuk di Indonesia untuk menanyakan apakah dokumen yang mereka siapkan sudah menenuhi persyaratan impor di Indonesia.

Kenyataannya banyak juga forwarder yang tidak/belum memahami keberadaan peraturan "Form E" setelah mempelajari dokumen yang dilampirkan oleh importir sudah ada COO/SKA merasa sudah cukup & memenuhi aturan. Padahal dokumen yang dilampirkan tersebut adalah COO/SKA yang umum atau non-preferensi.

Walhasil, ketika mengurus clearance di Bea Cukai, pihak forwarder akan dikenakan Notul (Nota Pembetulan) atau denda karena COO/SKA yang digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya.

Kasus lainnya yang sering terjadi terkait penggunaan "Form E" adalah pengiriman barang dari China tapi transit terlebih dahulu, umumnya di Hongkong.

Menurut ROO CAFTA, di Pasal 8 dinyatakan bahwa pengiriman barang harus langsung atau tidak boleh transit kecuali karena alasan geografis, tidak diperdagangkan dan tidak melakukan aktivitas selain bongkar muat.

Umumnya praktisi forwarding menganggap bahwa prosedur administrasi di Hongkong tidak jauh berbeda dengan China karena Hongkong adalah bagian dari negara China.

Penilaian yang demikian adalah keliru!

Hongkong adalah salah satu dari wilayah yang merupakan “Special Adminsitrative Region” (SAR) atau Wilayah Administrasi Khusus, berdasarkan Pasal 31 dari Konstitusi Negara RRC tahun 1982, sehingga Hongkong memiliki Kepala Eksekutif dan berhak mengatur urusan administrasinya sendiri, kecuali urusan kebijakan politik dan militer.

Karena kedudukan khusus Hongkong, maka skema kerja sama FTA antara China dengan negara-negara ASEAN (CAFTA) tidak termasuk Hongkong di dalamnya.

Imbasnya adalah banyak pelaku forwarding yang tidak mengira bakal terkena Notul dari Bea Cukai karena meskipun importir sudah menyerahkan “Form E” yang sesuai tetapi ada larangan bahwa barang tidak boleh transit di Hongkong. Jika harus mampir karena alasan geografis, pihak Bea Cukai tetap meminta konfirmasi resmi dari pihak terkait bahwa selama transit tidak melakukan aktivitas selain bongkar muat.

Siapa menanggung forwarder liability? Siapkan pundi-pundinya lebih dalam!


(Dirangkum dari berbagai sumber)



(Contoh COO non-preferensi)


(Contoh COO preferensi atau "Form E")

Sabtu, 04 Juni 2016

"Deck Cargo" Adalah Penyimpangan

Definisi & Pengertian

Tidak banyak kita temukan rujukan yang mendefinisikan "deck cargo" atau "on deck cargo" atau “deck cargo carriage”.

Definisi menurut kamus umum bisa kita baca dari salah satu kamus online “Collins Dictionary”, yaitu:

"Deck Cargo: (Noun) (nautical) cargo that is carried on the deck of a ship"

(http://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/deck-cargo)

Rujukan praktis bisa kita kutip dari "Merchant Shipping (Safety) (Load Lines) (Deck Cargo) Regulations" yang diterbitkan oleh otorita pelayaran Hong Kong, yaitu:

"Deck cargo means cargo carried in any uncovered space on the deck on the ship"

(http://www.legislation.gov.hk)

Dari definisi praktis, jika ada "uncovered space" di kapal berarti ada juga "covered space" atau "under deck stowage".

Lalu kapan barang disebut sebagai “deck cargo”?

Literatur akademis yang menyinggung masalah “deck cargo” umumnya menulis bahwa barang dianggap sebagai "on deck cargo" sejak saat penempatannya di atas palka dan selama faktanya memang berada di atas palka.


Aspek Sejarah

Menurut Prof. William Tetley, sejak jaman dulu memuat barang di bawah dek kapal "under deck stowage" sudah menjadi aturan umum, bahkan sebelum "The Hague Rules" dibuat.

Hal ini dapat dilihat di Statue of Marseilles tahun 1253 yang menyatakan bahwa memuat barang dagangan di atas dek dianggap sebagai melanggar hukum meskipun dengan persetujuan dan pihak yang melakukan hal tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul.

Isu "on deck cargo" menjadi demikian penting ketika penggunaan bill of lading dalam praktek pengangkutan barang melalui laut sudah menjadi formalitas. Misalnya pada tahun 1838, ketika Mr. Justice Story dalam kasus "Varnard v. Hudson" menyatakan bahwa:

"Where the goods are shipped under common bill of lading, it is presumed that they are shipped to be put under deck, as the ordinary mode of stowing cargo"

Kasus lain yang memperlihatkan pentingnya hubungan antara bill of lading dengan "on deck cargo" adalah "Armour v. Walford and The Peter Helms" dimana dinyatakan bahwa:

"A bill of lading containing a general clause permitting deck carriage but no statement of deck carriage (on the face of bill of lading) is not a clean bill of lading"

Penyimpanan barang "on deck" dapat menimbulkan implikasi tidak hanya di bidang shipping, terutama yang terkait dengan contract of carriage, tetapi juga berimplikasi terhadap proteksi asuransi "on goods" dan "liability" serta dalam bidang perdagangan yang menggunakan skema L/C.


Mengapa "Under Deck Stowage"

Membawa barang yang dimuat di atas palka dalam pelayaran dianggap berisiko karena barang terekspos bahaya lebih besar daripada barang yang dimuat di bawah/dalam palka.

Tapi barang2 tertentu dapat juga dimuat di palka, misal karena sifatnya yang "weatherproof" atau batubara dan kayu. Atau barang2 yang termasuk kategori "dangerous goods" untuk keamanan pelayaran memang harus dimuat di atas palka.


"On Deck Cargo" dan "Bill of Lading"

Mayoritas bill of lading mengadopsi “Hague (Visby) Rules” yang di dalamnya terdapat aturan yang memberikan penjelasan mengenai cakupan apa saja yang termasuk dalam pengertian "goods", yaitu  termasuk "wares",  "merchandise" dan "articles of whatsoever" kecuali binatang dan yang menurut kontrak pengangkutan dinyatakan sebagai "carried on deck and is so carried".

Oleh karena itu, menurut H(V)R ada 2 situasi dimana barang tidak termasuk sebagai "goods", yaitu:

1. Harus disebut dalam dokumen pengangkutan bahwa barang dimuat “on deck” dan barang memang faktanya dimuat “on deck”.

Jadi, jika dokumen tidak menyatakan barang dimuat “on deck” tetapi faktanya barang dimuat “on deck” maka barang tersebut masuk kategori "goods"  menurut aturan H(V)R.

2. Alternatifnya, jika dokumen menyatakan bahwa barang dimuat “on deck” tetapi faktanya dimuat “under deck”, maka barang yang demikian termasuk kategori“goods” menurut aturan H(V)R.


Pengaruh "On Deck Cargo" Terhadap Proteksi Asuransi

Memuat barang "on deck" tanpa persetujuan pengirim atau "unauthorised deck cargo" dapat menyebabkan pelanggaran atas kontrak pengangkutan.

Karenanya, sebelum pemuatan "on deck", pengangkut harus yakin bahwa memuat barang dengan cara demikian aman, ada aturan yang berlaku umum atau ada undang-undang yang mengharuskan demikian, dan pengirim telah menyadari pemuatan tersebut.

Jika tidak, maka pengangkut dianggap melanggar kontrak pengangkutan dan jaminan P&I dapat berpengaruh.

Asuransi P&I juga mengecualikan tanggung jawab atas kerusakan "deck cargo" dimana fakta tersebut tidak dicatat dalam bill of lading.

Pengecualian juga berlaku jika barang tidak layak "on deck" meskipun dicatat dalam bill of lading.

Dalam kedua kasus, pengangkut dianggap membiarkan dirinya terekspose risiko yang tidak normal atau tidak layak.

Di ranah transportasi maritim, "deck carriage" adalah satu-satunya bentuk penyimpangan non-geografis dimana hakim di pengadilan Amerika Serikat menyatakan dapat menghilangkan hak pengangkut untuk melimit tanggung jawabnya.

Sementara di ranah marine insurance, opini yang sama dikemukakan oleh John Dunt, editor buku "Marine Cargo Insurance" dengan menganalogikan Pasal 44 MIA 1906 bahwa penempatan barang di tempat yang salah tidak seharusnya akan menyebabkan proteksi menjadi "off" karena bukan penempatan yang demikian yang dimaksud di awal saat barang diasuransikan.

Namun polis ICC (Institue Cargo Clause) sendiri tidak mengatur secara spesifik mengenai "on deck cargo". Petunjuk yang lebih umum namun cukup tegas terdapat di Pasal 17 "Rules for The Construction MIA 1906" yang menyatakan bahwa:

"In the absence of any usage to the contrary, deck cargo...must be insured specifically, and not under the general denomination of goods"

Jika ada pengajuan klaim marine cargo insurance namun berdasarkan fakta yang ada memenuhi kondisi "on deck cargo", maka hal tersebut akan menyulitkan tertanggung untuk mendapatkan ganti rugi berdasarkan polis.

Alternatifnya, tertanggung dapat menuntut pihak pengangkut atas kerusakan "on deck cargo" karena pelanggaran atas kontrak pengangkutan namun keberhasilannya akan sangat tergantung pada T&C lain yang diatur dalam kontrak pengangkutan.

Jadi, hati-hati dengan penyimpangan "deck cargo"!


(Dirangkum dari berbagai sumber)


(Picture courtesy to www.vesselfinder.com)


(Picture courtesy to www.global-mariner.com)