Sabtu, 14 Mei 2016

Negara Maritim Yang Tersesat - Menengok Kembali Sejarah Bangsa

“Ke laut aja loe!”

Kira-kira demikian guyonan anak-anak sekarang yang seolah ingin menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak kita sukai lebih baik dibuang ke laut saja.

Padahal menurut peraturan internasional UNCLOS 1982, Pasal 46, Indonesia memenuhi persyaratan untuk menjadi satu negara kepulauan. Ini berarti laut menjadi salah satu unsur penting yang menyatukan pulau2 tersebut. Sedangkan di dalam GBHN 1999 – 2004 (Bab IV huruf B angka 5) ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara maritim.

Publik banyak yang tidak mengetahui bahwa Indonesia sudah punya Hari Maritim Nasional yang diperingati setiap tanggal 21 Agustus yang lalu. Ketidaktahuan publik tersebut ternyata tidak lepas dari sejarah penetapannya yang dianggap masih simpang siur oleh ahli sejarah, bahkan pemerintah pun dianggap belum secara resmi menetapkan demikian.

Bondan Kanumayoso, Sejarawan UI, misalnya, menurut beliau “Saya baru mendengar kalau hari ini (Penulis: 21 Agustus 2014) ditetapkan sebagai Hari Maritim Nasional, apalagi mengenai sejarah penetapannya…Saya tidak pernah diundang atau diajak bicara dalam merumuskan penetapan Hari Maritim ini,” tegasnya. Lanjutnya lagi, “Bisa saja ini merupakan usulan dari suatu komunitas atau kelompok berdasarkan dasar pemikirannya, cuma ini belum disepakati, baik oleh pemerintah maupun secara nasional”.

Merujuk ke beberapa sumber yang menyebutkan 21 Agustus 1945 sebagai asal muasal ditetapkannya Hari Maritim Nasional, antara lain;

• 21 Agustus 1945 – Angkatan Laut Republik Indonesia ketika itu berhasil mengalahkan tentara laut Jepang yang sudah menggunakan teknologi canggih. Mereka berhasil diusir dengan peralatan seadanya (http://www.hima.mar-eng.its.ac.id/?p=413)

• Sejarah mencatat tanggal 21 Agustus diperingati sebagai Hari Maritim Nasional. Ini mengacu pada sejarah bahwa tanggal 21 Agustus 1945 kekuatan tentara laut Indonesia berhasil merebut kekuatan laut dari tentara Jepang

(http://www.rmol.co/read/2012/08/22/75495/Hari-Maritim-Momentum-Kembalinya-Kesadaran-Maritime-Base-Oriented-)

• Dan ketika era perang kemerdekaan, 4 hari setelah proklamasi 17 Agustus 1945, tepatnya tanggal 21 Agustus 1945, bersyukur Angkatan Laut Republik Indonesia ketika itu, berhasil mengalahkan Tentara Laut Jepang yang sudah menggunakan teknologi canggih

(http://m.kompasiana.com/post/read/669592/3/selamat-hari-maritim-nasional-ke-69.html)


Sementara menurut Kasubdisjarah Dispenal Mabesal, Kolonel Laut (P) Rony E Turangan, “Tidak bisa itu dikatakan sebagai kemenangan, yang ada hanyalah pengambilalihan alutsista milik Jepang. Proses pengambilan itu ada yang secara diplomasi dan ada yang secara pengambilan paksa, seperti yang terjadi di Jawa Barat”. Ditambahkannya lagi, “Apalagi yang mantan Koniklijke Marine (Belanda) dan Kaigun (Jepang), berinisiatif mengambil alih seluruh alutsista milik Jepang, tetapi secara keorganisasian yang disebut BKR Laut, apalagi ALRI, belum ada”.

Penjelasan pamen TNI AL itu cukup logis juga, karena BKR Laut baru resmi berdiri pada tanggal 10 September 1945 dan kemudian berganti nama menjadi ALRI pada 10 Januari 1946.

Mengenai apa yang terjadi pada tanggal 21 Agustus 1945, salah satunya dapat kita lihat dari tautan laman Polri yang menceritakan kejadian pelucutan senjata dari tentara Jepang di Surabaya.

(http://www.polri.go.id/organisasi/op/sp/)

Cerita yang lebih detil dapat di baca dari buku “Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang” (hal 13). Tapi secara umum dapat digambarkan bahwa pada periode “status quo” sebelum tentara sekutu yang membonceng NICA mendarat di Indonesia pada akhir September 1945, pada masa2 itu sering terjadi penyerbuan2 ke markas (tangsi) militer Jepang atau pelucutan2 senjata tentara Jepang oleh tentara atau pejuang Indonesia.

Selain itu, maritim memiliki cakupan yang sangat luas, tidak hanya berbicara mengenai keamanan atau matra laut.

Namun demikian, terlepas dari polemik sejarah penetapan Hari Maritim Nasional di atas, rasanya banyak yang sepakat bahwa Indonesia harus mendapatkan momentum yang baik untuk kembali menoleh ke jatidiri bangsa yang sebenarnya, yaitu sebagai negara maritim, karena selama rezim orde baru berkuasa, pemerintah menitikberatkan pembangunan berorientasi darat padahal sumber2 kelautan masih sangat potensial dan belum tergali dengan baik. Hari Maritim Nasional bisa dijadikan momentum untuk itu tetapi pemerintah harus menunjukkan ‘political will’ ke arah sana & yang lebih penting memulainya.

Di Indonesia sendiri, setidaknya menurut sejarah moderen, embrio konsep negara maritim sudah dimulai sebelum Deklarasi Djoeanda, yaitu pada masa pada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo ketika membentuk suatu panitia interdepartemental yang ditugaskan untuk merancang RUU (Rencana Undang-Undang) Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956 pada 17 Oktober 1956. Panitia itu di bawah pimpinan Kolonel Laut R. M. S. Pirngadi.

Setelah bekerja selama 14 bulan akhirnya ’Panitia Pirngadi’ berhasil menyelesaikan konsep RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Pada prinsipnya, RUU itu masih mengikuti konsep Ordonansi 1939 tapi laut teritorial Indonesia ditetapkan menjadi 12 mil dari 3 mil dan belum menetapkan asas straight base line atau asas from point to point mengingat kekuatan Angkatan Laut Indonesia masih belum memadai. Sebelum RUU disetujui, Kabinet Ali bubar dan digantikan oleh Kabinet Djuanda. Pada 1 Agustus 1957, Ir. Djuanda mengangkat Mr. Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum guna mengamankan keutuhan wilayah RI dan memberikan gambaran ’konsep archipelago’ yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional pada 1951.

Dalam Sidang pada 13 Desember 1957, Dewan Menteri akhirnya memutuskan penggunaan ’Archipelagic State Principle’ dalam tata hukum di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya ’Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia’, dengan demikian Ordonansi 1939 menjadi tidak berlaku.

Pengumuman ini menuai protes dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, Perancis dan Selandia Baru. Tapi kemudian protes itu direspon dengan baik oleh Indonesia pada 1958 dengan dukungan Ekuador, Filipina dan Yugoslavia.

Melalui perjalanan panjang, akhirnya konsep “Achipelagic State” termasuk juga Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) baru disetujui oleh mayoritas negara-negara di dunia pada 10 Desember 1982 saat Konvensi Hukum Laut Internasional di Montego Bay, Jamaika. Konvensi ini kemudian dikenal dengan nama United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS).

Perkembangan selanjutnya, pada 18 Desember 1996 di Makassar, BJ Habibie sebagai Menristek membacakan pidato Presiden RI yang dikenal dengan konsepsi pembangunan "Benua Maritim Indonesia". Selanjutnya pada 1998, Presiden BJ Habibie kembali mendeklarasikan visi pembangunan kelautan Indonesia dalam "Deklarasi Bunaken".

Namun demikian, segala usaha untuk membangkitkan kejayaan maritim pada akhirnya berhenti pada wacana. Pada masa rezim Orba, Pelaksanaan GBHN yang dilaksanakan dalam strategi Pembangunan Lima Tahunan (Pelita) kesemuanya berorientasi ke darat, Land Base Oriented Development.

Sebagai perbandingan, kita bisa lihat bagaimana Perdana Menteri Mahatir Mohamad berpidato saat membuka “Malaysia's International Maritime Conference 1997” yang menekankan Malaysia akan menjadi “the true maritime nation”, a.l.:

“A country cannot claim itself to be a maritime nation merely by virtue of attributes such as suitable geographical position, physical conformation or strength of population as propounded by Admiral Alfred T. Mahan in the 19th century. These geographical attributes or a glorious maritime history do not automatically make a country a maritime nation…”

Kita juga bisa bandingkan beberapa negara yang memprioritaskan pembangunan industri maritim mereka, misalnya:

Jepang menyiapkan kekuatan maritim untuk mengamankan garis suplai BBM dari Timur Tengah ke Jepang di samping untuk memperkuat pertahanannya.

China dengan strategi “Chain of Pearl” yang bertujuan mengamankan jalur suplai BBM dari Timur Tengah ke China. Berdasarkan peta sejarah, China juga akan mengembalikan kejayaan maritimnya masa lampau.

India, telah menerbitkan dokumen “Freedom to Use the Seas: Maritime Military Strategy” yang berisi aspirasi geopolitik India hingga strategi deployment di masa damai maupun konflik, dan strategi pembangunan kekuatan angkatan laut India.

Semoga ke depan Konsep Negara Maritim yang telah diperjuangkan oleh pendahulu2 di Republik ini akan menjadi kenyataan.


(Dirangkum dari berbagai sumber)


(Gambar hasil googling)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar