Senin, 30 Januari 2017

Pilihan Sulit Pengusaha Kapal: Dapat Ganti Rugi Asuransi Hanya Sebagian atau Kehilangan Bisnis

Suatu ketika A (pemilik barang) datang ke B (pemilik kapal) untuk mengadakan perjanjian pengiriman barang.

Yang disepakati oleh keduanya adalah bahwa A akan membayar sejumlah uang tertentu kepada B sebagai ongkos angkut (freight), sedangkan B yang menerima freight dari A berjanji akan mengirim barang milik A dengan selamat sampai tujuan.

Dalam perjalanannya A kemudian menerima kabar dari B bahwa kapal yang membawa barang milik A mengalami musibah kandas dalam bentuk General Average Declaration & akan segera dilakukan penyelamatan.

Pada akhirnya upaya penyelamatan tersebut berhasil dilakukan, atas rekomendasi dari perusahaan asuransi tempat B membeli polis marine hull, maka A diminta untuk ikut kontribusi atau urunan biaya penyelamatan yang akan/telah dibayarkan oleh B.

Mendapatkan permintaan yang demikian, A meradang & merespon balik bahwa sesuai kesepakatan sebelumnya B berjanji akan mengirim barang milik A selamat sampai tujuan. Pada kenyataannya B gagal memenuhi janjinya, yang dari kaca mata awam A dianggap wanprestasi, kok B malah meminta A ikut kontribusi menanggung biaya penyelamatan?

Sebenarnya, B pun sempat bereaksi keras saat awal terima rekomendasi. Dari kaca mata awam B sebagai pengusaha, sudah pula sulit mendapatkan pelanggan untuk kelangsungan bisnisnya, namun begitu dapat pelanggan yang mau menggunakan jasanya tapi saat terjadi musibah kok malah diminta kontribusi?

Reaksi umum lainnya yang biasanya ditemui dalam contoh kasus di atas adalah bagi B, lebih baik bersikeras mendapatkan ganti rugi penuh dari perusahaan asuransi daripada kehilangan pelanggan gara2 diminta kontribusi.

Inilah salah satu alasan utama mengapa konsep "general average" banyak ditentang & ditantang untuk dihapuskan.

Untuk sementara ini, pendukung praktek general average dapat bernafas lega karena terselamatkan dengan digunakannya "Small GA Clause" atau "GA Absoprtion Clause".


Semoga bermanfaat.


(Pokoknya) Kaca Mata Kuda

Suatu ketika, seorang kolega dari bagian klaim asuransi menyatakan ketidaksetujuannya dengan rekomendasi adjuster yang sebenarnya sudah dikonsultasikan dengan Technical Advisor di London, seorang praktisi senior yang sudah sangat berpengalaman & salah satu dari sedikit average adjuster dengan predikat "fellow" di dunia.

Karenanya approval dari TA, maka saya sebagai handling adjuster saat itu, cukup pede ketika dipanggil rapat untuk membahas isu yang akan disanggah.

Hari H, tidak tanggung2, selain kolega tersebut, saya juga dihadapkan oleh 2 orang atasannya.

Setelah dijelaskan panjang lebar dasar rekomendasi adjuster & referensi yang sebenarnya tidak bisa dibantah secara konsep, muncullah kata sakti dari salah seorang atasan tersebut, yang dah di luar konteks pembahasan, alias gak mau tau lagi konsep marine insurance law atau common practice menurut adjuster, dengan mengatakan:

"POKOKNYA kita gak setuju menggunakan yurisprudensi".

(Catatan: tidak ada yang berubah dengan "choice of law" di polis yang digunakan, masih sesuai aslinya "subject to English Law & Jurisdiction")

Harus sedikit memutar otak untuk menjawab pernyataan yang di luar dugaan, akhirnya saya coba jelaskan lagi dengan analogi:

"Jika Asuransi ngotot pokoknya tidak mau terima yurisprudensi, kalo gitu harus konsisten, klaim2 kandas atau tabrakan yang tidak melanggar T&C harus ditolak!"

Si claim officer & 2 orang atasannya bingung & salah satunya membantah, jika sudah sesuai T&C maka Asuransi harus bayar klaimnya.

Saya tanya balik, atas dasar apa Asuransi harus bayar?

Lalu dijawab oleh sang atasan...karena kandas atau tabrakan dijamin polis.

Saya tanya lagi...di mana dari bagian polis atau klausula mana yang bilang klaim kandas atau tabrakan dijamin?

Dijawab oleh sang atasan...ada di Klausula 6.

Dalam hati saya...nah, kena jebakan 'batman' yang saya buat nih!

Dengan senang hati saya perlihatkan polisnya & saya tantang lagi...coba tunjukkan di Klausula 6, mana yang bilang kalo kandas atau tabrakan dijamin polis?

Ketiga PIC Asuransi tersebut hanya diam saja tidak bisa menjawab.

Argumentasi saya:

Di polis marine hull, memang betul "stranded" atau "grounded" dan "collision" tidak disebut sebagai penyebab kerugian yang dijamin dalam Klausula 6.

Klausula 6.1 hanya menyebut "perils of the sea", lalu dimana melihat kaitannya dengan risiko "stranded" atau "grounded" dan "collision" sebagai penyebab?

Menurut case law yang ada di Inggris & tetap dijadikan rujukan hingga kini, "a fortuitous stranding is a peril of the sea" ("Fletcher v. Inglis", 1819).

Demikian pula dengan "collision", dalam kasus "The Xantho (1887)" dinyatakan sebagai "peril of the sea".

Pesan moralnya adalah...silahkan tidak sependapat tapi kemukakan argumentasinya & konsisten, bukan berdasarkan kata sakti "POKOKNYA"!

Hal ini sama dengan praktek yang (masih) dilakukan oleh beberapa kolega yang memahami polis menggunakan "kaca mata kuda" atau hanya mau melihat apa yang tertulis di polis saja.

Padahal jika sudah sepakat dengan "English Law" sebagai "choice of law" di dalam polis, maka suka atau tidak suka kita harus juga merujuk ke aturan yang tidak tertulis di polis, yaitu yurisprudensi atau putusan hukum oleh pengadilan untuk kasus yang sama, sepanjang itu "still a good law" & belum dianulir oleh kasus hukum berikutnya.

Hal ini penting untuk dipahami karena polis tidak menuangkan semua hal yang diatur dalam klausula2 secara detil.

Yang juga penting, klausula2 di dalam polis umumnya tidak berdiri sendiri, sebagian besar bersumber dari yurisprudensi.

Jadi, sebaiknya tinggalkan kebiasaan total menggunakan kaca mata kuda dalam melihat hal2 apa saja yang dijamin di dalam polis, kecuali mungkin yang sudah terang benderang.

Disarikan dari pengalaman sebagai adjuster & semoga bermanfaat.

Make It Simple: Alat Angkut Harus Mengalami "Accident"

Polis asuransi marine cargo yang populer di international market saat ini adalah “Institute Cargo Clause” terbitan tahun 1982 atau biasa ditulis ICC 1/10/82.

Sebenarnya sudah ada polis terbaru yang biasa disebut “Revised version” terbitan tahun 2009 atau ICC 1/1/2009, tapi pengguna polis tahun 1982 juga tetap banyak.

Dari segi luas jaminan, baik edisi 1/1/82 atau 1/1/2009, polis ICC (C) adalah polis dengan jaminan yang paling sempit karena risiko-risiko penyebabnya yang ditulis dalam Klausula 1 hanya sekitar 11 macam risiko, yaitu:

1.1.1 fire or explosion
1.1.2 vessel or craft being stranded grounded sunk or capsized
1.1.3 overturning or derailment of land conveyance
1.1.4 collision or contact of vessel craft or conveyance with any external object other than water
1.1.5 discharge of cargo at a port of distress,
1.2.1 general average sacrifice
1.2.2 jettison.


Meski mayoritas pengirim/pemilik barang sekarang ini sudah relatif ‘melek’ asuransi jadi sedapat mungkin mendapatkan jaminan paling luas, ICC (A), terutama broker untuk kepentingan kliennya, tapi, bukan berarti polis ICC (C) tidak ada yang menggunakan karena banyak juga barang yang dikirim menggunakan jenis kapal tertentu hanya dapat diberikan proteksi dengan polis ICC (C).

Adapun polis ICC (A) rasanya tidak terlalu sulit untuk dipahami.

Lalu bagaimana memudahkan pembedaan luas jaminan polis ICC (C) dengan (B)?

Simpel saja, cukup dijawab bahwa untuk bisa dijamin dengan polis ICC (C) maka “alat angkutnya harus mengalami accident”.

Benarkah demikian?

Kita analisa singkat satu per satu risiko penyebabnya:
  • “fire” atau “explosion”, sudah pasti alat angkutnya yang terbakar atau meledak karena jika barangnya yang terbakar atau meledak sendiri akan mengarah ke sifat natural barang itu (inherent vice).
  • “stranded”, “grounded”, “sunk” atau “capsized” sudah diperjelas dengan menyebut alat angkut di awal kalimat.
  • “overturning or derailment…” yang diikuti alat angkut sudah cukup menegaskan.


Risiko penyebab lainnya (1.1.4), (1.1.5), (1.2.1) dan (1.2.2) juga menegaskan bahwa alat angkutnya harus mengalami accident.

Berbeda dengan polis ICC (B) dimana di dalamnya ada beberapa risiko penyebab yang tidak mengharuskan alat angkut mengalami accident, misalnya:

1.1.5 earthquake, volcanic eruption or lightning
1.2.3 entry of sea, lake or river water into vessel…etc.
1.3 total loss of any package or lost overboard...etc.


Jadi, cukup mudah memahaminya bukan?


Semoga bermanfaat!

Minggu, 29 Januari 2017

Sengketa Asuransi: Pengadilan atau Arbitrase?

Kegiatan bisnis selalu menimbulkan potensi sengketa (dispute) antara para pihak yang terlibat, termasuk di bisnis asuransi.

Jika terjadi dispute, para pihak secepat mungkin ingin mendapatkan penyelesaian masalahnya karena keterlambatan berarti gangguan pada kelangsungan bisnisnya, minimal nama baik perusahaan akan terdampak.

Penyelesaian sengketa melalui proses litigasi terbukti memakan waktu lama, relatif memakan biaya & dengan persidangan yang terbuka maka berpotensi menjadi sorotan publik.

Alternatifnya adalah melalui forum arbitrase, yang dapat berupa:
  1. Kausula yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa
  2. Dibuat suatu perjanjian Arbitrase tersendiri oleh para pihak setelah timbul sengketa.


Klausula arbitrase ini adalah ruhnya forum arbitrase itu sendiri karena klausula inilah yang akan menentukan apakah suatu sengketa dapat diterima untuk diselesaikan melalui forum arbitrase atau tidak.

Sesuai ketentuan Pasal 2, 3 dan 11 UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa dengan adanya perjanjian arbitrase, tempat pilihan penyelesaian sengketa yang berwenang atau berkompeten untuk menyelesaikan suatu sengketa adalah lembaga arbitrase. Dengan kalimat lain, kompetensi absolut arbitrase ditentukan oleh klausula atau perjanjian arbitrase.

Ini artinya, jika di dalan perjanjian pertanggungan atau polis asuransi dilekatkan klausula arbitrase maka para pihak yaitu penanggung dan tertanggung sudah sepakat bahwa jika terjadi suatu sengketa dikemudian hari, maka sengketa tersebut akan diselesaikan melalui arbitrase, apabila penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai.

Dikaitkan dengan sengketa asuransi, jika kontrak polis dilekatkan dengan klausula arbitrase maka pengadilan tidak memiliki kompetensi untuk mengadili sengketa klaim asuransi karena klausula arbitrase merupakan salah satu kesepakatan para pihak yang dituangkan ke dalam perjanjian & mengikat bagi pihak2 yang berkontrak sesuai asas pacta sund servanda.

Di yurisdiksi Indonesia, kebetulan sudah ada putusan pengadilan yang mengimplementasikan UU Arbitrase dalam bidang asuransi, misalnya putusan PN Jakarta Utara No 186/Pdt.G/2007/PN.JKT.UT mengenai sengketa yang timbul dari sengketa polis BI (Business Interruption) yang diterbitkan oleh PT. ASURANSI JAYA PROTEKSI (JAPRO).

Menurut Hakim di persidangan, penyelesaian sengketa harus ditempuh melalui lembaga arbitrase dengan pertimbangan terdapatnya klausula arbitrase di dalam polis.

Tapi sebelum muncul sengketa polis BI JAPRO, sudah ada kasus lain dengan putusan yang berbeda, yaitu sengketa dari polis Property All Risks yang diterbitkan oleh PT. ASURANSI HANJIN KORINDO dimana PN Jakarta Selatan tetap menerima untuk menyelesaikan sengketa dengan Putusan No 490/Pdt.G/2002/PN.JAK.SEL.

Padahal, di kedua polis, baik yang diterbitkan oleh JAPRO dan HANJIN terdapat Klausula Arbitrase yang sama.

Di sinilah kita melihat belum konsistennya sesama korps penegak hukum di negara kita, yang berdampak pada ketidakpastian hukum & ujung-ujungnya dapat berpotensi merugikan pelaku asuransi atau konsumen.

Pelabuhan di Jakarta Masuk Kategori "War Risk"? Udah Lama Keles!

Berita ini (kembali) terangkat ke permukaan pada bulan Juni 2016 oleh Ketua Umum INSA versi RUA, Johnson W. Sutjipto.


Mengherankan? Tergantung siapa yang menilai.

Untuk kepentingan pemerintah sebagai negara yang akan menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim tentu sangat merugikan. Apalagi pelabuhan Tanjung Priok sudah mengimplementasikan ISPS (International Ship and Port Facility Security) Code sejak awal bulan Juni 2004.

Tapi mungkin bagi sebagian pihak yang sering melakukan aktivitas di pelabuhan Tanjung Priok tidak merasa kaget atau heran.

Di areal pelabuhan yang seharusnya terbatas, kita bisa dengan mudah menjumpai pedagang, entah di darat atau di perahu kelotok yang hilir mudik dari satu kapal ke kapal lain yang sedang lego jangkar.

Di areal pelabuhan pun terdapat fasilitas militer milik TNI AL dan pergudangan milik TNI AD, yang tentu saja memunculkan risiko, meledak misalnya.

Lalu dari mana kita tahu Pelabuhan di Jakarta masuk kategori risiko “war”?

Praktisi asuransi marine seharusnya sudah familiar dengan sebuah komite di London yang berkaitan dengan akseptasi marine insurance, khususnya risiko “war or alike”, yaitu Joint War Committee.

Joint War Committee (JWC) terdiri atas perwakilan underwriters dari Lloyd’s Market Association (LMA) dan perusahaan di IUA (International Underwriting Association), yang berkepentingan mengaksep risiko khusus marine, yaitu “war or alike” di pasar London.

JWC mencari/mendapatkan masukan dari penasihat keamanan independen dan setiap kuartal anggotanya duduk bersama mendiskusikan isu2 seputar keamanan maritim.

Salah satu hasilnya adalah menerbitkan daftar wilayah/lokasi yang dianggap mengalami peningkatan risiko (The World of Perceived Enhanced Risks) yang ditujukan untuk pihak2 yang mengaksep risiko “war or alike” dan/atau merevisi daftar yang sudah diterbitkan (JWLA: Joint War Listed Area).

Jika suatu area termasuk dalam JWLA maka pemilik kapal harus mendapatkan persetujuan dari underwriters sebelum kapalnya masuk ke area tersebut.

Underwriters dapat mengubah T&C sebelum memberikan ijin untuk kapal yang akan masuk area tersebut, biasanya dengan menambahkan premi atau menolak sama sekali.

JWLA022 versi terkini tanggal 10 Desember 2015 yang diterbitkan oleh JWC, bahwa salah satu lokasi atau area yang dianggap tidak aman adalah “Port of Jakarta”.

Sampai kapan status “Port of Jakarta” akan menjadi pelabuhan yang tidak aman? Setidaknya untuk kepentingan perdagangan melalui laut.

Jawabannya tergantung kemauan & keseriusan para pemangku kepentingan di negara ini.


Semoga bermanfaat.




Aturan "VGM" (Verified Gross Mass) dan Dampaknya Terhadap Marine Cargo Insurance

Apa Itu Aturan "VGM”

Selama pelaksanaan konvensi SOLAS (93rd Session) pada bulan Mei 2014, IMO menyetujui perubahan aturan SOLAS dan meratifikasinya sebagai “Amendments to the SOLAS Regulations VI/2” pada bulan Nopember 2014.

Aturan ini mengharuskan dilakukan verifikasi “gross mass” dari kontainer sebelum dimuat ke atas kapal & berlaku untuk semua kontainer yang akan dimuat ke kapal yang tunduk pada rezim SOLAS di perairan internasional.


Kapan Mulai Diberlakukan

Amandemen SOLAS Reg. VI/2 ini sudah berlaku secara global sejak tanggal 1 Juli 2016.

Siapa Yang Bertanggung Jawab

Menurut Amandemen ini, pihak pengirim yang harus bertanggung jawab untuk memberikan informasi angka VGM secara akurat sebelum kontainer dimuat ke atas kapal.

Sebenarnya, kewajiban shipper memberikan informasi berat kontainer bukan sesuatu yang baru, tapi fakta baru dari aturan SOLAS tersebut adalah shipper harus memastikan bahwa VGM dihitung dengan metode yang sudah disertifikasi.


Bagaimana Menghitung "VGM"

Ada 2 metode untuk menghitung VGM kontainer, tergantung jenis barang yang akan dikirim & fasilitas yang tersedia, yaitu:
  1. Dikalibrasi dengan perlatan yang sudah disertifikasi.
  2. Berat barang termasuk palet, dunnage & item penataan/pengamanan lainnya ditambahkan ke “tare mass” kontainer. Namun cara ini harus disertifikasi & disetujui oleh otorita pelabuhan.


Yang mana pun dari 2 metode di atas, informasi VGM harus ditandatangani oleh shipper atau orang yang mewakilinya atau bertindak atas namanya, dan tidak boleh menggunakan estimasi.


Penerapan & Konsekwensi

Meskipun kewajiban VGM terletak pada shipper, pihak pengangkut berkewajiban menggunakan VGM untuk rencana pemuatan atau menolak kontainer tanpa VGM.

Tidak ada excuse jika aturan ini dilanggar, yang berarti “NO VGM NO LOADING”.

implementasi VGM di bidang shipping belum ada standarisasi. Beberapa pelabuhan menawarkan solusi pengukuran dilakukan di pintu masuk terminal atau di area terminal. Tapi yurusdiksi seperti New Zealand mengharuskan pengukuran dilakukan sebelumnya, sehingga berlaku aturan lebih ketat: “NO VGM NO ENTRY”.


Dampak Terhadap Marine Cargo Insurance

Ketiadaan VGM berarti carrier dapat menolak untuk memuat kontainer yang tidak disertai dengan bukti VGM.

Hal ini berarti akan berpotensi menyebabkan “delay” atau keterlambatan.

Polis standar marine cargo insurance, baik ICC 1/1/82 atau Revised Version 1/1/2009 mengecualikan kerugian, kerusakan atau biaya yang disebabkan oleh “delay” & penulis belum pernah menemukan polis yang diperluas dengan risiko “delay”.

Karenanya, perlu dipastikan bahwa shipper sudah melaksanakan aturan Amandemen SOLAS mengenai VGM untuk menghindari potensi masalah klaim asuransi di kemudian hari.

Semoga bermanfaat.





(pictures courtesy to www.portstrategy.com & www.containerweight.com)



Keanggotaan Indonesia Dalam Badan Maritim Dunia (IMO)

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Indonesia terpilih (lagi) menjadi anggota Dewan (Council) IMO (international Maritime Organization) Kategori C, untuk periode tahun 2016-2017, pada Sidang Umum IMO ke-29, pada tanggal 27 Nopember 2015 di London.

Sesuai jumlah anggota IMO saat itu, ada 155 negara yang mencoblos untuk memperebutkan jatah 20 kursi keanggotaan Kategori "C", sementara yang mengajukan diri ada 23 negara & hasilnya sbb:
  • Singapura (145 suara)
  • Turki
  • Malta
  • Australia
  • Siprus
  • Peru
  • Mesir
  • Kenya
  • Indonesia (127)
  • Afrika Selatan
  • Maroko
  • Denmark
  • Cile
  • Bahama
  • Belgia
  • Meksiko
  • Malaysia
  • Filipina
  • Liberia
  • Thailand

Adapun 3 anggota IMO yang tersingkir dalam perebutan anggota dewan IMO Kategori C adalah Iran, Arab Saudi dan Jamaika.

(Catatan: pada saat mengakses situs resmi IMO, anggota IMO saat ini mencapai 172 negara)


Keanggotaan Indonesia


Indonesia pertama kali mencalonkan dan terpilih menjadi anggota Dewan IMO pada tahun 1973, untuk periode keanggotaan 1973-1975, dan dua periode keanggotaan berikutnya yaitu 1975-1977 dan 1977-1979.

Indonesia gagal menjadi anggota Dewan IMO pada tahun 1979-1981 dan 1981-1983.

Pada Sidang Assembly ke-13 yaitu pada tahun 1983, Indonesia terpilih kembali menjadi anggota Dewan IMO dan selalu terpilih sampai saat ini.


Kategori Keanggotaan


Anggota dewan yang terpilih tersebut, baik kategori A, B dan C, merupakan organ eksekutif IMO yang akan melakukan Sidang Dewan yang kemudian dilanjutkan dengan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua untuk periode 2 tahun.

Kategori “A” terdiri dari 10 negara yang mewakili armada pelayaran niaga internasional terbesar dan penyedia angkutan laut internasional terbesar, yaitu:
  • China
  • Yunani
  • Italia
  • Jepang
  • Norwegia
  • Panama
  • Republic of Korea
  • Russian Federation
  • Inggris
  • Amerika Serikat


Kategori “B” terdiri dari 10 negara yang mewakili kepentingan terbesar dalam “International Seaborne Trade”, yaitu:
  • Argentina
  • Bangladesh
  • Brazil
  • Canada
  • Perancis
  • Jerman
  • India
  • Belanda
  • Spanyol
  • Swedia


Target Berikut


IMHO, sebenarnya kurang pas kalo Indonesia yang menggaungkan diri sebagai “Poros Maritim” hanya menjadi anggota Dewan IMO Kategori C sementara kenyataannya Indonesia termasuk negara kepulauan terbesar di dunia & memiliki sumber daya alam besar.

Sepintas kita bisa lihat, mengapa Banglades kok bisa menjadi anggota Kategori “B”?

Satu hal yang perlu dicatat & diketahui adalah Banglades memiliki +/- 5000 pelaut internasional aktif dan 2500 perwira, yang mayoritas bekerja di perusahaan pelayaran dari negara2 maritim besar dunia. Bahkan diklaim, pelaut2 dari Banglades memiliki rapor yang lebih baik dari negara2 kompetitor.

Bagaimana dengan Malaysia? Negara tetangga serrumpun ini memiliki program strategis jangka panjang untuk menjadi negara maritim pada tahun 2020. Oleh karenanya, Malaysia termasuk aktif dan agresif dalam penanganan isu2 seputar maritim. Bukan tidak mustahil mereka akan menyalip Indonesia untuk meningkatkan level keanggotaan di IMO.

Indonesia sendiri menargetkan menjadi anggota dewan Kategori B pada periode 2017-2018.

Yang agak kontras dengan kebijakan pemerintah menuju poros maritim, pada bulan September 2016 lalu salah satu lembaga non-kementrian yang menjadi forum konsultasi untuk merumuskan keterpaduan dalam kebijakan kelautan, yaitu Dewan Kelautan Indonesia (Dekin), termasuk yang dibubarkan.

Sangat disayangkan, meski pemerintah pasti punya alasan kuat.

Namun demikian, tetap apresiasi upaya pemerintah & semoga upaya mewujudkan negara poros maritim tetap terlaksana.

(Dirangkum dari berbagai sumber)