Senin, 23 Mei 2016

"Telex Release": Jangan Minta B/L Asli

Apa yang dimaksud dengan “Telex Release”.

“Telex Release” adalah terminologi yang terbentuk di industri yang maksudnya adalah pesan yang disampaikan oleh shipping line (perusahaan pelayaran) atau agen mereka di pelabuhan asal kepada kantor cabang mereka di pelabuhan tujuan, yang berisi informasi bahwa pihak Shipper sudah menyerahkan asli bill of lading kepada perusahaan pelayaran atau agen mereka di pelabuhan asal, dan cargo dapat diserahkan kepada Consignee yang tertulis di bill of lading tanpa Consignee harus menyerahkan bill of lading asli.

Pesan ini adalah lanjutan pesan yang sama yang diterima sebelumnya oleh perusahaan pelayaran atau agennya dari Shipper di pelabuhan asal.

Istilah “Telex Release” mengacu ke kebiasaan jadul waktu masih digunakannya teleks sebagai media komunikasi. Namun dengan tehnologi sekarang, bill of lading asli yang sudah diserahkan oleh Shipper ke perusahaan pelayaran atau agennya di pelabuhan asal, dapat discanned setelah diberi cap “Released” atau “Surrendered” terlebih dahulu. Lalu hasil scanning dikirim via email ke perusahaan pelayaran atau agen mereka di pelabuhan tujuan dengan perintah untuk merilis cargo ke Consignee.

Karena asli bill of lading sudah diserahkan oleh Shipper ke perusahaan pelayaran atau agennya di pelabuhan asal, maka sering juga disebut sebagai “Surrendered Bill of Lading”.

Jadi, dalam kasus “Telex Release” atau “Surrendered”, sebenarnya bill of lading tetap diterbitkan namun dipegang oleh Shipper dan diserahkan kembali ke perusahaan pelayaran penerbit dokumen atau agennya di pelabuhan asal. Bill of lading asli tersebut memang tidak dikirim ke Consignee sebagaimana umumnya dilakukan dalam prosedur pengiriman barang.

“Telex Release” biasanya digunakan hanya jika Consignee adalah pihak yang dirujuk langsung di dalam bill of lading bukan Bank atau tidak tertulis sebagai “to order”.

Dalam banyak kondisi, biasanya Consignee membayar barang yang dikirim di menit-menit terakhir sementara pihak Shipper menginginkan barang segera dibayar. Oleh karena itu, untuk mengamankan posisi Shipper maka asli bill of lading ditahan oleh Shipper sementara menunggu konfirmasi pembayaran dari Consignee.

Ketika Shipper menerima informasi bahwa barang sudah dibayar oleh Consignee, jika harus mengirim bill of lading asli akan memakan waktu lama, sementara Consignee ingin barangnya segera pindah ke tangannya. Di sinilah fungsi “Telex Release” berperan, dan dari persepektif importir, cara yang demikian akan mengurangi waktu yang dibutuhkan dalam proses pengiriman barang dan mengurangi ongkos kurir.

Meski “Telex Release” adalah praktek yang umum dijumpai dalam shipping practice, tapi ada yang beranggapan bahwa itu bukan servis normal dari perusahaan pelayaran, tapi privilege yang diberikan kepada pelanggan (shipper) utamanya dan tetap dikenakan biaya, yang menurut salah satu praktisi sebesar USD 30.00 di tahun 2015.

Bagaimana melihat hubungan antara “Telex Release” atau “Surrendered Bill of Lading” dengan Marine Cargo Insurance Claim?

Praktisi di bagian klaim, khususnya yang menangani marine cargo insurance, ketika menerima pengajuan klaim, sesuai SOP klaim akan meminta kelengkapan dokumen pendukung yang dibutuhkan, salah satunya adalah Bill of Lading.

Berdasarkan pengalaman Penulis sebagai adjuster, pernah ada salah satu staf klaim di perusahaan asuransi yang terkesan “ngotot” meminta bill of lading sebagai syarat kelengkapan dokumen sebelum memutuskan untuk memberikan ganti rugi. Padahal berdasarkan hasil penelitian dari dokumen yang ada & juga penjelasan dari pihak Claimant, mereka (sebagai Consignee) memang tidak menerima bill of lading untuk pengiriman yang sedang diklaim. Hal ini karena pada saat pengambilan barang eks impor dari perusahaan pelayaran, mereka memang tidak memperlihatkan dan menyerahkan asli bill of lading kepada perusahaan pelayaran di pelabuhan tujuan, tapi menggunakan apa yang sudah dijelaskan sebagai “Telex Release”.

Jadi, dalam kasus yang seperti ini jangan berharap kita akan mendapatkan asli bill of lading kecuali salinan yang dicap “Telex Released” atau “Released” atau “Surrendered”.

Inilah salah satu alasan pentingnya praktisi marine cargo insurance memahami aspek-aspek shipping practice, khususnya yang berkaitan dengan pekerjaan sehari-hari.


(Dirangkum dari berbagai sumber)



(Picture courtesy to www.unipacshipping.com)



Minggu, 22 Mei 2016

Terminal & Container Handling Charges

Container Handling Charge (CHC) adalah biaya yang dikenakan oleh pengelola termimal peti kemas kepada pengguna jasa (biasanya adalah shipping line) sejak kapal sandar, bongkar muatan, sampai ke tempat penumpukan di container/stacking yard.

Di pelabuhan Tanjung Priok, saat ini shipping line membayar CHC untuk kondisi FCL sebesar:

- USD 83.00 per 1 x 20"
- USD 124.00 per 1 x 40"

Biaya CHC ini kemudian ditagihkan oleh shipping line kepada shipper atau pengirim atau pemilik barang dengan menambahkan surcharge sebesar:

- USD 12.00 per 1 x 20"
- USD 21.00 per 1 x 40"

Gabungan biaya CHC dan surcharge inilah yang disebut Terminal Handling Charges (THC). Pungutan biaya ini dikutip oleh perusahaan pelayaran asing.

THC juga dimaksudkan untuk menutupi biaya lain-lain yang dikeluarkan oleh perusahaan pelayaran sebagai akibat, utamanya, kelalaian/kelambatan pemilik barang atau pengelola terminal. Dengan kata lain, THC merupakan biaya biaya tambahan yang pengenaannya sepihak oleh perusahaan pelayaran. Intensi pemberlakuan THC oleh pelayaran (asing) memang diniatkan sebagai biaya/pendapatan tambahan.

Pelaksanaan pemungutan THC di Indonesia dijalankan oleh pelayaran nasional yang menjadi agen mereka di Indonesia. Walau memiliki status sebagai ‘shipping line’, pelayaran nasional itu tidak jarang bertindak hanya sebagai pemungut THC ketimbang memiliki dan mengoperasikan kapal.

Penggunaan istilah "terminal" oleh pihak pelayaran asing, meski sejatinya tidak ada kaitan dengan operator terminal, mengakibatkan sering salah sasaran komplain dari shipper karena seolah2 biaya THC dipungut oleh operator terminal.

Pihak shipping line asing mengenakan THC dengan dalih untuk menutupi biaya pengumpulan dan pengangkutan peti kemas kosong dari/ke pelabuhan muat atau dikenal dengan istilah reposition of empty containers yang dilafalkan "repo" dalam praktek pelayaran.

Menariknya, ternyata pendapatan pihak shipping line dari THC lebih besar ketimbang dari tarif angkut.

(Diolah dari tulisan Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institute/Namarin, di harian Bisnis Indonesia tanggal 22 Mei 2014)



(Pictures courtesy to www.kalmarglobal.com)



Jumat, 20 Mei 2016

Maritime Limitation of Liability: Pengusaha Dapat Membatasi Tanggung Jawabnya

Pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum (tort) atau gagal memenuhi kontrak maka harus bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkannya, baik berdasarkan "tort" atau asas2 hukum kontrak.

Pihak yang bertanggung jawab diharuskan memenuhi pelaksanaan kontrak atau membayar sejumlah uang sebagai kompensasi atas kerugian yang ia sebabkan.

Meskipun tanggung jawab dalam "tort" dan asas hukum kontrak umumnya tidak dibatasi pada jumlah tertentu, tapi tanggung jawab dalam kontrak pengangkutan dibatasi oleh sebagian besar konvensi2 internasional dan hukum nasional, dengan apa yang kita kenal dalam istilah Limitation of Liability (LOL)

LOL adalah salah satu elemen penting dalam "shipping law" karena sistem asuransi tanggung jawab hukum pihak pengangkut didasarkan pada LOL.

Belum dapat diketahui kapan persisnya LOL pertama kali diberlakukan dalam "maritime law" dan dari mana sumbernya.

Beberapa ahli menulis bahwa inspirasi LOL berasal dari asas hukum Romawi "noxae deditio". Menurut asas ini pemilik properti dapat memenuhi tuntutan dengan menyerahkan properti yang menyebabkan kerugian.

Konsep awal LOL juga disebut sebagai tantangan bagi asas hukum yang dikenal dengan istilah "restitutio in integram" yaitu jika tingkat kerugian sudah bisa dihitung maka harus diganti penuh.

Dalam sejarahnya, LOL dianggap sebagai "privillege" karena konsepnya sebagai pengecualian terhadap atau variasi dari aturan hukum umum bahwa pihak yang berhasil mengajukan klaim berhak diberikan kompensasi penuh dari "wrongdoer" sebagai akibat kerugian atau kerusakan atau luka yang diderita olehnya.

Namun ratusan tahun kemudian pendapat ini dibantah di pengadilan Inggris oleh Lord Justice Denning dalam kasus "The Bramley Moore" bahwa LOL bukan suatu "privillege" tapi untuk kepentingan publik, dalam kalimatnya:

"...I agree there is not much room for justice in this rule; but limitation of liability is not a matter of justice. It is a rule of public policy which has originsin history and its justification in convenience..."

Dipercaya oleh para ahli bahwa LOL khususnya dalam bidang angkutan laut pertama kali berkembang di Italia pada abad ke-11. Tabel Amalphitan di dalam hukum dagang Republik Amalphia mengadopsi sistem pendanaan bersama, dimana uang didistribusikan ke kapal2 yang berlayar & di saat2 tertentu meminta agar klaim dibayarkan dengan dana bersama ini

Tabel ini memiliki persyaratan mengenai batas tanggung jawab dari pemilik kapal.

Mirip dengan itu, di Spanyol, "Consolato del Mare" (diterjemahkan sebagai "Consulate of the Sea & Related Documents) Barcelona, mengatur batas tanggung jawab pemilik kapal yang timbul karena kerusakan muatan untuk mendorong investasi di bidang pelayaran.

Dari Italia dan Spanyol kemudian ide LOL menyebar ke belahan Eropa lainnya termasuk Inggris.

Di hukum maritim Inggris, hak untuk memberlakukan LOL baru diterapkan lewat statue (undang2) yang disetujui Parlemen tahun 1734 pasca lobi yang dilakukan para pemilik kapal.

Di Amerika Serikat aturan paling awal mengenai LOL diperkenalkan dalam bentuk UU negara bagian Massachusetts pada tahun 1819 dan di Maine tahun 1821.

Pada tahun 1851, Kongres AS memberlakukan "Limitation of Liability Act" yang dikodifikasi dalam Pasal 46 USC, Ayat 181-189.

Perundang-undangan ini sebagai respon atas kebakaran kapal "LEXINGTON" yang menyebabkan kehilangan nyawa & kerusakan muatan.

Pengirim muatan dalam peti kayu berisi surat berharga senilai USD 18,000 dari NY Bank mengajukan tuntutan berdasarkan kontrak pengangkutan terhadap pihak pengangkut.

Pemilik kapal "LEXINGTON" meminta LOL namun ditolak oleh US Supreme Court karena temuan yang dapat dipersamakan dengan misconduct pemilik kapal.

Kembali ke Eropa, pasca revolusi perdagangan di abad ke 16 dan 17, privillege tanggung jawab pemilik kapal beradaptasi di semua yurisdiksi negara Eropa kontinental.

Contoh awal undang-undang mengenai LOL di Eropa antara lain:

- Statutes of Hamburg of 1603
- Hanseatic Ordinance of 1614 (and 1644)
- Maritime Codes of Charles II of Sweden (1667)
- 1721 Ordinance of Rotterdam.

Menurut aturan-atutan ini, tanggung jawab pemilik kapal dibatasi hanya sampai nilai kapal. Elemen penting dari konsep LOL yaitu bahwa hasil penjualan kapal untuk memenuhi klaim pihak yang menuntut.

Selain itu, pemilik kapal juga menikmati 2 opsi, yaitu mengganti sampai senilai kapal atau mengabandon kapalnya.

Dari latar belalang historis tersebut menperlihatkan bahwa pada masa belum ada asuransi seperti pada masa moderen ini, konsep LOL merupakan mekanisme pembagian risiko oleh berbagai pihak.

Motif mendasar dari diberlakukannya LOL dari tinjauan sejarah adalah sebagai proteksi terhadap industri maritim secara umum, dan proteksi bagi pelaku usaha perkapalan khususnya.

Sebagaimana diketahui bisnis perkapalan adalah bisnis yang tinggi risiko, risiko di laut dan risiko pembiayaannya. Pemilik kapal berpotensi kehilangan lebih dari apa yang ia telah investasikan.

Karena tanggung jawab dibatasi dan diketahui maka pemilik kapal dapat mendepositkan jumlah total di pengadilan jika mereka harus bertanggung jawab dan dibebaskan dari tanggung jawab lanjutan atau tindakan hukum dan jaminan terhadap propertinya, misal penahanan kapal.

Pemilik kapal karenanya dapat menghindari proses litigasi berjamaah dan permintaan jaminan di berbagai yurisdiksi agar bisa tetap beroperasi, sementara distribusi klaim dan dana dilakukan oleh pengadilan.

Bagaimana kemudian perkembangan LOL dan pemberlakuannya menurut Konvensi Internasional 1957 dan 1976?

Siapa yang dapat melimit? Klaim2 apa saja yang tunduk pada ketentuan LOL? Apakah hak untuk melimit dapat hilang? Bagaimana limitasi dihitung?

Nantikan tulisan berikutnya di blog ini.


(Dirangkum dari berbagai sumber)


(Picture courtesy to www.examiner.com)

Rabu, 18 Mei 2016

Kenali Bill of Lading: House atau Ocean

Barang yang dikirim dengan kapal laut pada umumnya merupakan hasil dari kontrak jual beli yang dibuat antara penjual dan pembeli. Sehingga dapat dikatakan juga bahwa kontrak pengangkutan (contract of carriage) adalah tahap terakhir setelah kontrak jual beli (contract of sales goods) terjadi.

Berdasarkan kebiasaan yang sederhana, seseorang atau perusahaan yang akan mengirim barang dengan menggunakan kapal laut biasanya akan mendatangi perusahaan pelarayan atau agennya dengan maksud untuk memesan ruangan muat di kapal yang memiliki rute pelayaran ke kota atau negara tujuan yang diinginkan.

Namun demikian, di jaman yang sudah moderen seperti sekarang, proses pengiriman barang menjadi lebih kompleks. Pihak pengirim barang dimudahkan dengan tidak lagi mengurus pengiriman barangnya sendiri tetapi dibantu oleh pihak ketiga sebagai intermediary, yang tidak terlibat dalam contract of carriage. yaitu:

  • Freight Forwarder
  • Custom Broker
  • Stevedore
Saat menyerahkan barang kepada forwarder, pihak pengirimakan menerima apa yang disebut sebagai House Bill of Lading (HBL). Kemudian forwarder akan menghubungi perusahaan pelayaran yang memiliki armada dan jadwal pelayaran ke kota/negara tujuan sesuai instruksi pengirim. Perusahaan pelayaran kemudian akan menginformasilkan lokasi dan jadwal penerimaan barang kepada forwarder. Dalam proses serah terima barang, perusahaan pelayaran akan menerbitkan Master Bill of Lading kepada forwarder sebagai bukti bahwa barang sudah diterima. 

Pada kenyataannya, banyak praktisi asuransi yang belum memahami apa dan bagaimana House Bill of Lading dan Master Bill of Lading serta perbedaan keduanya.


I. Bill of Lading – Tinjauan Singkat

Ketika shipowner menggunakan kapalnya yang memiliki jadwal rutin dan menawarkan jasa pengangkutan kepada pemilik barang maka kontrak pengangkutannya akan dibuktikan dengan sebuah dokumen yang disebut bill of lading.

Menurut definisi yang sederhana, bill of lading adalah dokumen yang membuktikan pemuatan barang di atas kapal.

Banyak ahli atau penulis memiliki pandangan yang sama mengenai fungsi bill of lading, yaitu:

  1. Sebagai bukti barang telah diterima oleh pihak pengangkut (as a receipt for the goods shipped).
  2. Sebagai bukti adanya kontrak pengangkutan (as an evidence of contract of carriage).
  3. Sebagai document of title.
Manfaat bill of lading dalam proses pengiriman barang akan terlihat nyata ketika pihak pemegang (the rightful holder) dapat mengambil barang di pelabuhan tujuan atau di tempat yang ditunjuk oleh shipper sementara pihak carrier tidak mengetahui informasi apapun tentangnya dan tidak memiliki hubungan apapun dengannya.

Praktek ini sudah terbentuk dari kebiasaan perdagangan (mercantile custom) sejak lama dan sangat erat kaitannya dengan fungsi bill of lading pada butir (3) yang penjelasannya cukup kompleks (penulis akan coba buatkan uraian sederhananya di kesempatan yang akan datang).

Secara sederhana, karena penguasaan atas bill of lading dianggap sebagai penguasaan atas barang, maka "the rightful holder" dari bill of lading dapat menjual barang tersebut kepada pihak lain meski masih berada di atas laut hanya dengan cara sederhana mengendorse bill of lading dan menyerahkannya kepada pihak lain.

Oleh karenanya, bill of lading juga disebut juga sebagai “the key to the warehouse”, sebuah ungkapan terkenal yang dikutip dari pernyataan Bowen LJ dalam kasus "Sanders Brothers v. Maclean & Co. (1883) 11 QBD 327 (CA)":

“It is a key which in the hands of a rightful owner is intended to unlock the door of the warehouse, floating or fixed, in which the goods may chance to be”

Beberapa penulis membagi bill of lading dalam beberapa jenis & pembagiannya bervariasi menurut sudut pandang si penulis, tapi jika merujuk ke Alan E. Branch, penulis buku "Element of Shipping", setidaknya ada 13 macam jenis bill of lading yang bisa ditemukan di dalam praktek, di antaranya adalah:

  1. Shipped or Received bill of lading
  2. Stale bill of lading
  3. House bill of lading
  4. Transshipment bill of lading
  5. Clean or Clause bill of lading
  6. Negotiable or Non-negotiable bill of lading
  7. Container bill of lading
  8. Straight bill of lading
  9. FIATA bill of lading
  10. Sea Waybill

II. House/Forwarder dan Ocean/Marine/Master Bill of Lading

Beberapa istilah dalam dokumentasi shipping yang sering menimbulkan kebingungan bagi kita yang bukan praktisi shipping adalah jenis house/forwarder bill of lading atau marine/master/ocean bill of lading dan bagaimana mengenalinya.

Sebenarnya jenis bill of lading ini merujuk kepada pihak yang menerbitkan dokumen tersebut.

Menurut Drs. H.M. Noch Idris Ronosentono Bsc., House Bill of Lading (HBL) adalah semua bill of lading yang diterbitkan oleh para forwarder dengan menggunakan namanya pada dokumen tersebut, dimana bill of lading ini statusnya mungkin saja dapat untuk dipindahtangankan (negotiable) atau barangkali tidak dapat untuk diperjualbelikan (non-negotiable) sama sekali.

Sedangkan marine bill of lading adalah bill of lading yang diterbitkan oleh perusahaan pelayaran untuk mengangkut barang dengan kapal dari pelabuhan ke pelabuhan. Marine bill of lading dikenal juga sebagai ocean bill of lading. Istilah lain untuk marine bill of lading atau ocean bill of lading adalah master bill of lading (MBL) karena merujuk kepada pihak yang menandatanganinya, yaitu nahkoda kapal.

Seperti telah disinggung di atas, jika eksportir ingin mengirim barang kepada kliennya di luar negeri, maka ia akan datang kepada freight forwarder. Dalam hubungan ini maka eksportir akan disebut di dalam HBL sebagai shipper (actual shipper) dan pihak importir akan disebut sebagai consignee (actual consignee).

Selanjutnya, barang akan dikirim oleh freight forwarder kepada shipping line dan pada saat menerima barang tersebut shipping line akan menerbitkan MBL. Dalam hubungan ini, freight forwarder akan disebut sebagai shipper sedangkan yang disebut sebagai consignee adalah agen freight forwarder di pelabuhan tujuan.


Indikasi umum yang menjadi pembeda lainnya adalah dalam hal penandatangan.

Selain diterbitkan dalam format perusahaan forwarder, HBL ditandatangani oleh forwarder tanpa mengindikasikan perusahaannya bertindak sebagai "carrier" atau "as agent of the carrier", kecuali L/C mempersyaratkan B/L ditandatangani oleh "carrier" maka forwarder akan membubuhi keterangan "as carrier" di tanda tangannya.

Dalam hal hak & persyaratan, HBL umumnya tidak tunduk pada ketentuan Hague Rules atau Hague-Visby Rules, meski dapat diatur demikian. Umumnya sebagai perusahaan forwarder mereka tunduk pada aturan yang dibuat oleh asosiasinya atau T&C perusahaan forwarder tersebut.


(Dirangkum dari berbagai sumber)



Selasa, 17 Mei 2016

"Piracy" di Somalia: Dari Bisnis Ransom ke Pengawalan Ilegal

Di era klasik, "piracy" telah melewati masa keemasannya, namun era keemasan baru dianggap telah lahir kembali di Somalia setelah kejatuhan pemerintah rezim Siad Barre yang berkuasa pada tahun 1991 yang menyebabkan terjadinya perang sipil di tengah2 pemerintahan yang tidak efektif.

Terletak di lokasi strategis di tanduk benua Afrika, nelayan2 Somalia & eks milisi dalam perang sipil mulai melakukan penyergapan2 terhadap kapal2 yang melewati alur sempit yang dikenal dengan Teluk Aden.

Berdasarkan sebuah laporan dari PBB yang dirilis tahun 2006, karena ketiadaan penjaga keamanan pantai yang bekerja, perairan Somali menjadi lokasi internasional yang "free for all" & didatangi kapal2 dari belahan dunia lain untuk menangkap ikan secara ilegal. Laporan PBB lainnya menyebut +/- USD 300 juta ikan & hasil laut lainnya dicuri dari perairan Somalia setiap tahunnya.

Menurut laporan "Secure Fisheries", sejak tahun 1981 terjadi peningkatan illegal fishing 20x di perairan Somalia.

Seorang pakar "anti-piracy", John Steed, dari "Oceans Beyond Piracy", yang membantu upaya penyelamatan tawanan, serangan di perairan Somalia awalnya dilakukan terhadap kapal2 penangkap ikan ilegal yang menjadi salah satu pemicu maraknya pemicu "piracy" di Somalia. Latar belakang penangkapan ikan secara ilegal di perairan Somalia oleh kapal2 ikan asing juga dinyatakan oleh beberapa pengamat di dalam tulisan2 lainnya.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh IMB selama periode 10 tahun sejak tahun 2006 s/d 2015, statistik “piracy” yang pernah terjadi di perairan Somalia dapat dilihat sebagai berikut:

- 2006: 20
- 2007: 44
- 2008: 111
- 2009: 212
- 2010: 217
- 2011: 237
- 2012: 75
- 2013: 15
- 2014: 11
- 2015: nil

(Sumber: www.icc-ccs.org)

Salah satu peristiwa pembajakan yang termasuk spektakuler mungkin yang terjadi pada kapal berbendera Arab Saudi "SIRIUS STAR" pada tanggal 15 Nopember 2008 yang sedang membawa minyak senilai USD 100 juta. Pelaku diduga menggunakan kapal pukat sebagai "mother vessel" untuk melepaskan kapal kecil lainnya ke arah "SIRIUS STAR". Negosiasi ransom untuk pelepasan kapal berjalan selama 2 bulan & diberikan sebesar USD 3 juta dari jumlah semula yang diminta sebesar USD 25 juta.

Pembajak di Somalia umumnya dipersenjatai AK-47, pelontar granat & menggunakan kapal atau speedboat kecil untuk menyergap kapal penangkap ikan yang beroperasi secara ilegal di perairan Somalia. Kapal yang ditangkap ini kemudian dijadikan sebagai “mother vessel” untuk berlayar lebih jauh mengintai kapal-kapal niaga yang tidak dikawal dan berjalan lambat. Kapal besar yang dibajak kemudian disauhkan di perairan dekat desa yang dikuasai salah satu kelompok pembajak di Puntland sampai negosiasi ransom disepakati.

Di Somalia tidak ada pelabuhan yang memadai untuk mengakomodasi kapal-kapal cargo dan tanker moderen. Juga tidak ada infrastruktur yang memungkinkan pelaku memindahkan barang dari kapal yang dibajak untuk dijual ke pasar di kawasan. Pembajak di Somalia juga tidak dipercaya sebagai ancaman penggantian identitas kapal untuk dijual.

Jadi, bisa dibilang “piracy” di Somalia semata-mata hanya bisnis ransom.

Seiring dengan intensifnya operasi2 keamanan yang melibatkan militer dari banyak negara dan pengawalan melekat di kapal2 niaga yang melintasi Teluk Aden praktis menurunkan frekwensi serangan pembajak dari Somalia & juga mengurangi "pendapatan" para pelaku pembajakan, yang sejak tahun 2005 s/d 2012 mendapatkan nilai pembayaran ransom sekitar USD 339 – USD 413 juta, dan setelahnya terus menurun.

Tahun 2015 ke depan, ada kecenderungan baru bagi para pelaku "piracy" di Somalia yang sebelumnya sempat merasakan nikmatnya uang tebusan atau ransom, yaitu dengan menawarkan jasa sebagai pengawal bagi kapal2 penangkap ikan asing yang ingin menangkap ikan secara ilegal di perairan Somalia.


(Dirangkum dari berbagai sumber)


(Gambar courtesy to www.bussinessinsider.com)

INCOTERMS dan Asuransi Pengangkutan Barang


Pemberitaan yang sedang hangat di media terkait dengan transaksi ekspor beberapa hari ini adalah aturan mengenai kewajiban penggunaan skema CIF untuk barang yang diekspor dari Indonesia.

Terhitung sejak tanggal 1 Maret 2014, eksportir di Indonesia wajib mencatatkan transaksi ekspor dalam bentuk Cost, Insurance and Freight seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 41 Tahun 2014.

Sayangnya, sampai dengan tulisan ini dibuat dan penulis mengakses situs resmi milik pemerintah (www.kemenkeu.go.id) pada tanggal 3 Maret 2014 jam 12.00 WIB, beleid tersebut belum dapat diunduh secara bebas.

Tulisan singkat ini tidak akan membahas CIF dari sudut pandang ekonomi tetapi Penulis mencoba untuk memberikan sedikit penjelasan mengenai kaitan Incoterms, khususnya skema CIF, dengan salah satu bidang asuransi, yaitu marine cargo insurance.

Berdasarkan situs resmi International Chamber of Commerce (ICC), atau semacam Kadin Dunia, Incoterms pertama kali diciptakan pada tahun 1936 dengan maksud:

“…providing a set of international rules for the interpretation of the most commonly used trade terms in foreign trade”

Incoterms pertama kali diciptakan oleh ICC pada tahun 1921 yang selanjutnya dikembangkan enam aturan pertama dalam Incoterms oleh Trade Terms Committee atau sebuah komite yang berhubungan dengan terminologi perdagangan, pada tahun 1923. Ke-enam aturan tersebut adalah: FOB, FAS, FOT, FOR, CIF dan C&F.

Kemudian, pada tahun 1936 di Paris, ICC menerbitkan seperangkat aturan internasional yang terkait dengan delivery yang disebut dengan International Commerce Terms (Incoterms) meliputi 11 terminologi. Dikenal juga dengan Delivery Clause karena aturan-aturan tersebut mendefinisikan kewajiban penjual dan pembeli lebih baik dan lengkap daripada sebelumnya sehingga dapat diterima oleh kebanyakan pengusaha.

Pembahasan revisi Incoterms sempat terhenti sampai dengan tahun 1950 karena ekses Perang Dunia Ke-2 sampai akhirnya dikembangkan lagi Incoterms versi 1953. Pada tahun 1967, Incoterms ditambahkan dengan DAF (Delivery At Frontier) dan DDP (Delivered Duty Paid). Sejak saat ini, ICC secara aktif mengumumkan interpretasi mereka atas terminologi jual beli internasional. 



Pada tahun 1968, ICC mengidentifikasikan Incoterms 1953 sebagai “an instrument of special importance with regards to the harmonization and unification of the law of the international sale of goods”. Incoterms terus mengalami perubahan penting pada tahun 1990, 2000 dan terakhir versi 2010 yang dirilis pada pertengahan September 2010 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2011.

Incoterms hanya relevan dengan kontrak jual beli dan tidak untuk kontrak pengangkutan atau kontrak asuransi, namun demikian kesepakatan antara pihak-pihak yang menggunakan Incoterms memang akan mempengaruhi kontrak-kontrak lainnya.

Misalnya, jika kedua belah pihak sepakat untuk menggunakan CIF atau CFR dalam kontrak jual beli mereka, maka pihak penjual ‘dipaksa’ untuk mengurus pengangkutan barang menggunakan moda kapal laut. Pada akhirnya nanti pihak pembeli yang akan mengambil barang harus menyerahkan bill of lading yang dia terima dari penjual kepada pihak pelayaran.

Banyak rujukan resmi terkait Incoterms menuliskan CIF contract atau FOB contract meski menurut penulis sebenarnya Incoterms bukanlah sebuah kontrak karena kontraknya sendiri merujuk ke sales contract yang sudah ada dengan menyebutkan skema CIF atau FOB atau skema lainnya sesuai dengan kesepakatan pihak penjual dan pembeli. Sejatinya Incoterms hanya terbatas mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak jual beli terkait dengan pengiriman barang tersebut.

Bagaimana kemudian melihat hubungan antara CIF dengan marine cargo insurance?

Menurut Incoterms® 2010, cakupan tanggung jawab pihak penjual dan pembeli CIF dijelaskan sebagai berikut:

“…the seller delivers the goods on board the vessel or procures the goods already so delivered. The risk of loss of or damage to the goods passes when the goods are on board the vessel. The seller must contract for and pay the costs and freight necessary to bring the goods to the named port of destination” 

Oleh karenanya, berdasarkan CIF, pihak penjual selain berkewajiban untuk menyiapkan shipping documents, ia juga diharuskan menyiapkan jaminan polis sehubungan dengan pengiriman barang, dan menyerahkan polis kepada pihak pembeli.

Jaminan polis seperti dimaksud Incoterms tentu saja adalah polis yang memberikan proteksi terhadap barang dalam perjalanan atau pengiriman, dan polis yang tersedia di pasar asuransi untuk goods in transit’ adalah marine cargo policy.

Di antara beberapa poin penting dari kondisi CIF adalah, polis yang diupayakan oleh penjual hanya boleh memproteksi barang sesuai dengan yang dideskripsikan di dalam kontrak jual beli. Jika pembeli mendapatkan polis dari penjual yang ternyata juga menjamin barang milik pihak lain maka penjual dianggap telah melakukan pelanggaran atau ‘breach’.

Selain itu, salah satu prinsip asuransi mengharuskan adanya hubungan kepentingan antara pihak yang mengajukan klaim dengan obyek pertanggungan atau yang disebut dengan insurable interest. Baik Marine Insurance Act 1906 dan polis Institute Cargo Clauses menyatakan bahwa tertanggung harus memiliki kepentingan ‘at the time of the loss’. Oleh karenanya menjadi penting untuk diketahui sejauh mana hubungan antara penjual dan pembeli dengan barang.

Dalam kontrak jual beli, dapat muncul 3 situasi dimana terjadi

• ‘passing of risk’ atau ‘transfer of risk’
• ‘passing of title or ownership’
• ‘passing of property’

Harus digarisbawahi bahwa Incoterms menekankan pada poin mengenai ‘passing of risk’ daripada ‘passing of title’ atau ‘passing of property’, sementara dalam kontrak jual beli, ‘title’ atau ‘ownership’ dari barang dapat saja tidak berada pada pihak yang menanggung risiko kerusakan barang.


Hal inilah yang sering menyulitkan untuk menentukan siapa yang memiliki kepentingan terhadap barang.

Menurut K.S. Vishwanath, seorang praktisi marine insurance, yang menulis buku "Insuring Cargoes, a practical guide to the law and practice", berpendapat bahwa:

“It is usually the party who bears the risk, rather than the title, property or ownership, that has an insurable interest”



Oleh karena itu, penting bagi pelaku usaha untuk memahami terlebih dahulu aturan-aturan yang dituangkan dalam Incoterms sebelum menggunakannya ke dalam kontrak jual beli agar dapat menyesuaikan dengan proteksi asuransi yang dibutuhkan.




(Dirangkum dari berbagai sumber)



(Gambar courtesy to www.thelegalpartners.com)





Perkembangan Konvensi Internasional Pengangkutan Barang Melalui Laut

Meski tehnologi sudah berkembang, namun tidak dapat disangkal bahwa pengiriman barang melalui laut masih mendominasi perdagangan di dunia. Berdasarkan data dari United Nations Commission on Trading and Development (UNCTAD) bahwa ada sekitar 9.2 milyar ton barang yang dimuat dari berbagai pelabuhan di dunia. Angka ini di kisaran kurang lebih 90% dari total perdagangan dunia. 

Mundur ke beberapa abad ke belakang, praktis tehnologi pengiriman barang saat itu hanya dilayani satu moda angkutan, yaitu kapal laut.

Dengan mengadakan perjanjian dengan pihak pengangkut untuk mengirimkan barang, maka pihak pengirim mempercayakan keselamatan barangnya kepada pengangkut. Hal yang demikian memunculkan tanggung jawab dimana segala kerugian yang terjadi atas barang selama dalam masa pelayaran menjadi tanggung jawab pengangkut.

Berdasarkan sejarah awalnya, tanggung jawab pengangkut didasarkan pada prinsip strict liability yang menjadikannya bertanggung jawab atas setiap kerugian atau kerusakan barang meskipun pengangkut tidak melakukan kelalaian. Sehingga, pengangkut dianggap secara mutlak bertanggung jawab atas keselamatan barang yang dipercayakan kepadanya.

Pengecualian atas tanggung jawab tersebut hanya terbatas pada apa yang disebut sebagai common law exceptions, yaitu: 
  • Act of God 
  • Public enemies 
  • Inherent vice 

Seiring dengan perkembangan prinsip freedom of contract pada abad ke 19, pengangkut yang ketika itu memiliki posisi tawar yang kuat mengurangi tanggung jawab mereka dengan menghilangkan common law exceptions.

Alasan logis yang melatarbelakangi terjadinya praktek yang demikian mungkin seperti yang dijelaskan oleh H.M.N. Purwosutjipto, SH, bahwa:

“…tanggung jawab pengangkut laut sangat berat, sebab bahaya yang mengancam kapal dan muatannya di laut sangat banyak…seumpama pengangkut laut diwajibkan menanggung setiap malapetaka yang timbul di laut selama dalam pengangkutan, maka kiranya tidak ada seorang pengusaha pun yang sanggup untuk menjadi pengusaha pengangkutan di laut. Dari itu wajar bila pengangkut laut selalu berusaha untuk mengurangi tanggung jawabnya terhadap barang-barang yang diangkutnya…”

Bahkan di Atlantik Utara, pengangkut secara terang-terangan mengecualikan tanggung jawab mereka dari semua kejadian termasuk yang disebabkan oleh kelalaian, dengan memasukan apa yang dikenal sebagai “negligence clause” ke dalam bill of lading.

Pencantuman klausula ini sudah menjadi kontroversi sejak lama di antara dua kepentingan, yaitu pemilik kapal yang memonopli pengangkutan dan pemilik barang. Di negara yang berkepentingan dengan pemilik kapal, klausula ini berlaku tanpa batas dengan dalih asas kebebasan berkontrak. Sebaliknya di negara yang berkepentingan terhadap pemilik barang klausula ini dianggap invalid dengan alasan bertentangan dengan kepentingan umum. Keadaan saat itu digambarkan menciptakan situasi yang melemahkan dan dapat menghambat perdagangan dunia.

Perkembangan di atas, memicu dukungan dari seorang anggota kongres dari Ohio, negara bagian Amerika Serikat, bernama Harter, yang kebetulan sebagai pendukung kepentingan pemilik barang, untuk mengajukan rancangan undang-undang yang bertujuan melindungi kepentingan pemilik barang di AS terhadap monopoli pemilik kapal Inggris. Dengan pengaruh dari pemilik kapal, aturan tersebut diperlunak sehingga pada tanggal 13 Pebruari 1893 RUU tersebut ditetapkan menjadi UU yang dikenal dengan “Harter Act”.

Konsekwensi besar dari “Harter Act” ini adalah pelarangan – dengan mencantumkan kalimat “It shall not be lawful…” – pada pasal-pasal yang memberlakukan “negligence clause”.

"Harter Act" dianggap sebagai produk hukum pertama di dunia yang mengalokasikan risiko kerugian melalui pengangkutan laut antara pengangkut dengan pemilik barang, dan juga sebagai aturan yang menyeragamkan pembatasan posisi tawar pengangkut secara kontrak.

Seiring perjalanannya, negara Inggris memandang perlu juga adanya penyeragaman peraturan di negara-negara persemakmuran dengan menyiapkan laporan mengenai bill of lading berdasarkan riset sebelumnya yang dilakukan oleh Imperial Shipping Committee dan Maritime Law Committee pada tahun 1920.

Berdasarkan laporan ini dibuatlah juga rancangan naskah konvensi internasional untuk dibawa ke konferensi yang diadakan oleh International Law Association di Den Haag, Belanda, pada tahun 1921. Seberapa penting isu bill of lading dalam konferensi ini terlihat dari nama yang digunakan pada rancangan konvensi tersebut “Hague Rules” hingga akhirnya tiga tahun kemudian di Brussel, pada tanggal 28 Agustus 1924 diadopsi dengan nama resmi “International Concention for the Unification of Certain Rules Relating to Bills of Lading” yang mulai diberlakukan pada tahun 1931.

Sampai dengan Penulis mengakses situs resmi Committee Maritime International (CMI), ada sekitar 89 negara yang memberlakukan "Hague Rules" di negaranya baik dengan cara ratification atau accession.

Negara maritim besar seperti Inggris memberlakukan "Hague Rules" dalam bentuk "Carriage of Goods be Sea" (COGSA) Act 1924.

Untuk sekian lama, "Hague Rules" dapat diterima sebagai aturan yang menyeimbangkan kepentingan pemilik kapal dan pemilik muatan. Namun demikian, seiring perkembangan waktu dan perubahan pola perdagangan internasional dengan maraknya penggunaan kontener, dirasa perlu untuk menyesuaikan aturan.

Kesempatan itu datang pertama kali pada bulan Mei 1959 ketika CMI mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa sebagian aturan di dalam “Bill of Lading Convention 1924” tidak memuaskan. Untuk menindaklanjuti laporan ini maka dibentuklah sebuah komite yang akan melakukan riset. Berdasarkan laporan hasil penelitian tersebut diajukanlah sebuah rancangan naskah amandemen pada sidang pleno di Stockholm dan ditandatangani di kota kecil bersejarah Visby, pulau Gotland, Swedia, pada 1963.

Pada saat konferensi diplomatik internasional yang diadakan di Brussel pada Mei 1967, naskah amandemen tersebut diberikan pandangan akhir dan kemudian diadopsi dengan nama resmi “Protocol to amend the International Convention for the Unification of Certain Rules of Law Relating to Bills of Lading” pada tanggal 23 Juni 1968 atau lebih dikenal dengan sebutan “Visby Amendment” atau “Visby Rules” yang berlaku mulai tanggal 23 Juni 1977.

Negara Inggris memberlakukan "Hague-Visby Rules" melalui COGSA Act 1971.

Sampai dengan Penulis mengakses situs resmi Committee Maritime International (CMI), ada sekitar 30 negara yang memberlakukan "Visby Rules" di negaranya baik dengan cararatification atau accession.

Amandemen berikutnya terhadap "Hague-Visby Rules" dilakukan pada tanggal 21 Desember 1979 yang mengubah Pasal 4 paragraf 5 terkait pembatasan tanggung jawab pengangkut yang mengacu kepada Special Drawing Rights (SDR) yang dibuat oleh International Monetary of Fund (IMF). Oleh karenanya, "Hague-Visby Rules" hasil amandemen ini diberikan nama resmi sebagai “Protocol to Amend the International Convention for the Unification of Certain Rules Relating to Bills of Lading as Modified by the Amending Protocol of 23rd February 1968” atau lebih dikenal dengan sebutan “SDR Protocol” yang mulai berlaku pada tanggal 14 Pebruari 1984.

Sampai dengan Penulis mengakses situs resmi Committee Maritime International (CMI), ada sekitar 25 negara yang memberlakukan SDR Protocol di negaranya baik dengan cara ratification atau accession.

Terlepas dari keberhasilan amandemen pertama dan kedua, "Hague-Visby Rules" tetap meninggalkan isu penting, yang belum memuaskan banyak negara khususnya Negara berkembang karena pembahasan detil tidak memungkinkan dilakukan pada saat konferensi diplomatik, di antaranya adalah mengenai sistim tanggung jawab.

Oleh negara-negara berkembang "Hague-Visby Rules" dianggap produk negara-negara yang pernah menjajah mereka sehingga menginginkan yang lebih merefleksikan kepentingan negara-negara berkembang.

Ketidakpuasan tersebut terus berlanjut hingga pada akhirnya dibuatlah rancangan baru konvensi internasional oleh UNCTAD bekerja sama dengan United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) yang kemudian diadopsi pada konferensi internasional yang diadakan oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) pada bulan Maret 1978 di Hamburg.

Konvensi ini diberikan nama resmi sebagai “United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea” atau lebih dikenal dengan sebutan “Hambug Rules” yang mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Nopember 1992.

Pada saat tulisan ini dibuat, sudah sekitar 34 negara yang memberlakukan "Hamburg Rules" baik dengan cara ratification atau accession. Namun demikian penting untuk dicatat bahwa dari 34 negara tersebut tidak ada satu pun yang termasuk negara besar di bidang maritim atau perdagangan, termasuk Inggris, Amerika Serikat, Kanada, atau Jepang, misalnya. Faktanya, mereka hanya merepresentasikan sekitar 4% dari total tonase dunia atau 6% dari total perdagangan dunia.

Ini berarti bahwa "Hamburg Rules" tidak diterima di komunitas internasional karena sedikitnya dukungan dari negara-negara besar maritim dan perdagangan, kecuali sedikit dukungan dari negara-negara berkembang. Penjelasan-pejelasan logis atas sedikitnya dukungan ini akan Penulis coba buatkan tulisannya pada kesempatan mendatang.

Jika demikian, menurut penulis maka fakta ini bertolak belakang dengan pandangan H.M.N. Purwostujipto, SH., bahwa peranan "The Hague Rules" makin merosot dengan telah diberlakukannya "Hamburg Rules".

Bagaimana kemudian dengan posisi Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang juga sebagai negara maritim? Sangat disayangkan memang hingga saat ini tidak ada satu pun dari konvensi internasional yang sudah dibahas di atas yang diratifikasi oleh Indonesia.

Menurut pendapat Penulis, jika membaca penjelasan H.M.N. Purwostujipto, SH., di dalam bukunya, pasal-pasal di KUHD yang membahas mengenai tanggung jawab pengangkut sedikit banyaknya mengacu kepada "Hague Rules". Hal ini terlihat dari hubungan antara Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda dimana Belanda sebagai anggota International Law Association ketika itu ikut menyesuaikan undang-undang terkait pengangkutan barang melalui laut dengan "Hague Rules".

Sebenarnya ada satu lagi konvensi internasional di bidang pengangkutan barang melalui laut yang sudah mulai diratifikasi sejak tanggal 23 September 2009 di kota Rotterdam dengan nama resmi “United Nations Convention on Contracts for the International Carriage of Goods Wholly or Partly by Sea” atau lebih dikenal dengan sebutan “Rotterdam Rules”.

Namun demikian posisinya masih tetap sama bahwa Indonesia sebagai salah satu negara maritim besar belum meratifikasi konvensi tersebut.


(Dirangkum dari berbagai sumber)


(Gambar courtesy to www.lesteraldrigde.com)

Mengapa Cuaca Selalu Disalahkan?

“Musibah di Indonesia tahun ini (2013) banyak didominasi kecelakaan kapal di laut”.


Demikian pernyataan dari Direktur Operasi & Latihan Basarnas Brigjen TNI Tatang Zaenudin dalam suatu kesempatan.

Sebenarnya, berapa jumlah kecelakaan kapal yang tercatat resmi di laut teritorial Indonesia selama tahun 2013?

Menurut Kemenhub, saat konferensi pers di kantornya pada tanggal 11 Desember 2013, jumlah kecelakaan kapal selama tahun 2013 adalah 124 kejadian yang diklaim ‘menurun’ dibandingkan pada tahun 2012 yang mencapai 165 kejadian. Namun demikian belum ada penjelasan detil mengenai statistik penyebab kecelakaan kapal.

Sedikit mundur ke tahun 2009, data resmi dari kemenhub menunjukan sebagai berikut:
 
Selama periode Januari 2009 s/d Desember 2009 telah terjadi 124 kecelakaan kapal laut. Dari jumlah kejadian tersebut, sebanyak 52% penyebabnya adalah karena faktor manusia, 41% karena faktor alam dan sisanya 31% karena faktor tehnis. 

Data resmi lainnya, berdasarkan Media Release KNKT Tahun 2012 menyebutkan:
 
Selama periode 2007 s/d 2012 telah terjadi 298 kecelakaan kapal laut. Prosentase faktor penyebabnya adalah 41% karena faktor alam dan 59% karena faktor tehnis. 

Jika dikomparasi dengan data-data dari institusi di negara lain, prosentase di atas bertolak belakang. Misalnya, berdasarkan American Bureau Services (ABS) Technical Paper Tahun 2006 menyebutkan bahwa 80% – 85% kecelakaan kapal melibatkan human error.

Jika demikian, apakah berarti data-data kecelakaan kapal di Indonesia seolah-olah membenarkan kebiasaan manusia selama ini bahwa cuaca memang layak untuk dipersalahkan, khususnya yang terjadi di Indonesia?

Sekarang mari kita lihat mengapa cuaca selalu dijadikan tameng jika terjadi kecelakaan kapal dari perspektif hukum pengangkutan laut.

Ada suatu kutipan menarik dari kisah mitologi dewa-dewa di jaman Yunani dahulu seperti tertulis di bawah ini.

“Well now, how indeed mortal men do blame the gods!
They say it is from us evils come, yet they themselves
By their own recklessness have pains beyond their lot”

(Zeus speaking to the gods at Olympus)

Ternyata, sejak zaman kuno manusia sudah sering mengkaitkan perubahan-perubahan cuaca dengan campur tangan tuhan. Kebiasaan yang sudah membudaya ini bahwa cuaca dan akibatnya adalah intervensi Tuhan, oleh karenanya di luar kendali manusia, disadari atau tidak mulai meresap ke dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga menjadi kebiasaan.

Disadari atau tidak, kebiasaan manusia selalu mengkambinghitamkan cuaca merupakan salah satu bentuk kebiasaan tersebut dan ini selalu terjadi manakala kita membaca berita mengenai terjadinya kecelakaan kapal. 

Pengkambinghitaman cuaca bukan tanpa sebab karena dengan menunjuk penyebab lain kemungkinan si pihak yang diduga terlibat ingin membebaskan dari klaim atau penalti atau bahkan jerat hukum dari pihak-pihak yang merasa dirugikan atas terjadinya kecelakaan tersebut. Makanya jangan heran jika banyak pemilik atau operator kapal sedapat mungkin melakukan 'fait a compli’ ke cuaca sejak awal terjadinya kecelakaan.

Historisnya, pihak pengangkut harus bertanggung jawab mutlak atas setiap kerugian dari muatan yang menjadi tanggung jawabnya selama dalam pelayaran. Seiring dengan asas kebebasan berkontrak pada abad 19, pengangkut mengambil keuntungan dari posisi tawar mereka yang cukup kuat ketika itu, banyak memasukan klausula-klausula yang membebaskan tanggung jawab mereka seluas mungkin termasuk common law exceptions.

Praktek yang dianggap tidak fair inilah yang memancing lahirnyaHarter Act 1893 di Amerika Serikat. Berdasarkan konvensi ini pengangkut dapat dimintakan tanggung jawab jika disebabkan kelalaiannya namun tidak bisa menghilangkan tanggung jawab. Aturan ini kemudian dikembangkan di dalam konvensi Hague Rules, dimana pengangkut diberikan catalogue of exceptions, salah satunya adalah peril of the sea. Namun demikian katalog pengecualian tersebut tidak serta merta bisa digunakan oleh pengangkut kecuali dapat dibuktikan bahwa mereka sudah melaksanakan kewajiban dasar sebagai pengangkut.

Bagaimana Pasal 3 dan Pasal 4 dari Hague Rules bekerja digambarkan dengan baik oleh Simon Baughen dalam kalimat berikut:

“Article IV (1) grants the carrier a ‘due diligence’ defence in respect of loss or damage caused by unseaworthiness. Article IV (2) then goes on to grant the carrier immunities in respect of loss or damage in respect of a list of causes, but these additional defences will be unavailable to a carrier where the loss or damage is caused by the carrier’s failure to take due diligence to provide a seaworthy ship”

Jadi sebenarnya secara hukum cukup jelas bahwa untuk bisa menggunakan katalog pengecualian maka pengangkut harus membuktikan terlebih dahulu sudah melakukan due diligence untuk menyediakan atau mengadakan kapal yang "seaworthy before and at the beginning of the voyage".

Dalam kalimat lain, jika kapal yang mengalami kecelakaan ternyata terbukti tidak laiklaut sebelum dan pada saat dimulainya pelayaran maka pengangkut tidak bisa menggunakan kekebalan yang diberikan oleh Hague Rules dan oleh karenanya tidak layak mengkambinghitamkan cuaca sebagai penyebab.

Namun demikian, kenyataan yang terjadi sekarang adalah, jika terjadi kecelakaan kapal yang penting salahkan cuaca dulu terlepas dari apakah kapalnya sudah laiklaut atau tidak.

Kasihan nasib si “cuaca” di Indonesia, selalu dijadikan kambing hitam.


(Dirangkum dari berbagai sumber)


(Gambar courtesy to www.worldmaritimenews.com)