“Musibah di Indonesia tahun ini (2013) banyak didominasi kecelakaan kapal di laut”.
Demikian pernyataan dari Direktur Operasi & Latihan Basarnas Brigjen TNI Tatang Zaenudin dalam suatu kesempatan.
Sebenarnya, berapa jumlah kecelakaan kapal yang tercatat resmi di laut teritorial Indonesia selama tahun 2013?
Menurut Kemenhub, saat konferensi pers di kantornya pada tanggal 11 Desember 2013, jumlah kecelakaan kapal selama tahun 2013 adalah 124 kejadian yang diklaim ‘menurun’ dibandingkan pada tahun 2012 yang mencapai 165 kejadian. Namun demikian belum ada penjelasan detil mengenai statistik penyebab kecelakaan kapal.
Sedikit mundur ke tahun 2009, data resmi dari kemenhub menunjukan sebagai berikut:
Selama periode Januari 2009 s/d Desember 2009 telah terjadi 124 kecelakaan kapal laut. Dari jumlah kejadian tersebut, sebanyak 52% penyebabnya adalah karena faktor manusia, 41% karena faktor alam dan sisanya 31% karena faktor tehnis.
Data resmi lainnya, berdasarkan Media Release KNKT Tahun 2012 menyebutkan:
Selama periode 2007 s/d 2012 telah terjadi 298 kecelakaan kapal laut. Prosentase faktor penyebabnya adalah 41% karena faktor alam dan 59% karena faktor tehnis.
Jika dikomparasi dengan data-data dari institusi di negara lain, prosentase di atas bertolak belakang. Misalnya, berdasarkan American Bureau Services (ABS) Technical Paper Tahun 2006 menyebutkan bahwa 80% – 85% kecelakaan kapal melibatkan human error.
Jika demikian, apakah berarti data-data kecelakaan kapal di Indonesia seolah-olah membenarkan kebiasaan manusia selama ini bahwa cuaca memang layak untuk dipersalahkan, khususnya yang terjadi di Indonesia?
Sekarang mari kita lihat mengapa cuaca selalu dijadikan tameng jika terjadi kecelakaan kapal dari perspektif hukum pengangkutan laut.
Ada suatu kutipan menarik dari kisah mitologi dewa-dewa di jaman Yunani dahulu seperti tertulis di bawah ini.
“Well now, how indeed mortal men do blame the gods!
They say it is from us evils come, yet they themselves
By their own recklessness have pains beyond their lot”
(Zeus speaking to the gods at Olympus)
Ternyata, sejak zaman kuno manusia sudah sering mengkaitkan perubahan-perubahan cuaca dengan campur tangan tuhan. Kebiasaan yang sudah membudaya ini bahwa cuaca dan akibatnya adalah intervensi Tuhan, oleh karenanya di luar kendali manusia, disadari atau tidak mulai meresap ke dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga menjadi kebiasaan.
Disadari atau tidak, kebiasaan manusia selalu mengkambinghitamkan cuaca merupakan salah satu bentuk kebiasaan tersebut dan ini selalu terjadi manakala kita membaca berita mengenai terjadinya kecelakaan kapal.
Pengkambinghitaman cuaca bukan tanpa sebab karena dengan menunjuk penyebab lain kemungkinan si pihak yang diduga terlibat ingin membebaskan dari klaim atau penalti atau bahkan jerat hukum dari pihak-pihak yang merasa dirugikan atas terjadinya kecelakaan tersebut. Makanya jangan heran jika banyak pemilik atau operator kapal sedapat mungkin melakukan 'fait a compli’ ke cuaca sejak awal terjadinya kecelakaan.
Historisnya, pihak pengangkut harus bertanggung jawab mutlak atas setiap kerugian dari muatan yang menjadi tanggung jawabnya selama dalam pelayaran. Seiring dengan asas kebebasan berkontrak pada abad 19, pengangkut mengambil keuntungan dari posisi tawar mereka yang cukup kuat ketika itu, banyak memasukan klausula-klausula yang membebaskan tanggung jawab mereka seluas mungkin termasuk common law exceptions.
Praktek yang dianggap tidak fair inilah yang memancing lahirnyaHarter Act 1893 di Amerika Serikat. Berdasarkan konvensi ini pengangkut dapat dimintakan tanggung jawab jika disebabkan kelalaiannya namun tidak bisa menghilangkan tanggung jawab. Aturan ini kemudian dikembangkan di dalam konvensi Hague Rules, dimana pengangkut diberikan catalogue of exceptions, salah satunya adalah peril of the sea. Namun demikian katalog pengecualian tersebut tidak serta merta bisa digunakan oleh pengangkut kecuali dapat dibuktikan bahwa mereka sudah melaksanakan kewajiban dasar sebagai pengangkut.
Bagaimana Pasal 3 dan Pasal 4 dari Hague Rules bekerja digambarkan dengan baik oleh Simon Baughen dalam kalimat berikut:
“Article IV (1) grants the carrier a ‘due diligence’ defence in respect of loss or damage caused by unseaworthiness. Article IV (2) then goes on to grant the carrier immunities in respect of loss or damage in respect of a list of causes, but these additional defences will be unavailable to a carrier where the loss or damage is caused by the carrier’s failure to take due diligence to provide a seaworthy ship”
Jadi sebenarnya secara hukum cukup jelas bahwa untuk bisa menggunakan katalog pengecualian maka pengangkut harus membuktikan terlebih dahulu sudah melakukan due diligence untuk menyediakan atau mengadakan kapal yang "seaworthy before and at the beginning of the voyage".
Dalam kalimat lain, jika kapal yang mengalami kecelakaan ternyata terbukti tidak laiklaut sebelum dan pada saat dimulainya pelayaran maka pengangkut tidak bisa menggunakan kekebalan yang diberikan oleh Hague Rules dan oleh karenanya tidak layak mengkambinghitamkan cuaca sebagai penyebab.
Namun demikian, kenyataan yang terjadi sekarang adalah, jika terjadi kecelakaan kapal yang penting salahkan cuaca dulu terlepas dari apakah kapalnya sudah laiklaut atau tidak.
Kasihan nasib si “cuaca” di Indonesia, selalu dijadikan kambing hitam.
(Dirangkum dari berbagai sumber)
(Gambar courtesy to www.worldmaritimenews.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar