Nama Hugo Grotius sudah tidak asing lagi bagi mereka yang mempelajari hukum internasional, karena Hugo Grotius atau Hugo de Groot dianggap oleh banyak kalangan sebagai Bapak Hukum Internasional.
Misalnya Hamilton Vreeland, seorang guru & pengacara di Amerika Serikat pada tahun 1917, yang menulis "Hugo Grotius: The Father of the Modern Science of International Law"
Bahkan hingga kini, The American Society of International Law terus menggelar acara tahunan Grotius Lecture dan The Peace Palace Library di Den Haag untuk menghormatinya.
Namun demikian jika melihat sisi lain seorang Grotius, ada juga yang berpendapat bahwa Grotius sebenarnya bukan pemikir hukum tapi tidak lebih hanya sebagai pengacara yang bekerja berdasarkan pesanan klien belaka.
Ini dibuktikan dari argumentasinya yang terkenal "Mare Liberum" (Laut Bebas).
Argumentasi tersebut disampaikannya pada saat ia bekerja sebagai pengacara untuk & disewa oleh VOC, untuk melawan justifikasi penguasaan dunia yang telah dilakukan lebih dulunoleh Portugal dengan argumentasi "Mare Clausum" (Laut Tertutup).
Menurut Grotius, bahwa laut seperti juga udara, bebas digunakan oleh umat untuk keperluan navigasi dan perikanan.
Sepintas, pemikiran Grotius ini adalah cerminan sikap liberal yang memihak pada kebebasan, namun pada kenyataannya Grotius adalah seorang yang mendukung perbudakan & penjajahan.
Penjajahan Belanda atas Indonesia (dulu Nusantara) juga tidak kurang atas kontribusi pemikiran Grotius.
Dampak jangka panjang argumentasi Grotius terhadap kedaulatan Indonesia adalah bahwa meskipun Indonesia sudah memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka tapi karena Laut Jawa masih dianggap sebagai perairan Internasional maka kapal2 Belanda masih tetap bebas berlalu lalang.
Pada akhirnya, menurut Arif Havas Oegroseno (Deputi Kedaulatan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman RI), yang menghentikan "penjajahan" Grotius terhadap kedaulatan di atas lautan Indonesia adalah Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, seorang ahli hukum internasional pertama yang dimiliki Indonesia.
Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja mengajukan konsepsi negara kepulauan Indonesia di depan Sidang Kabinet pada tanggal 13 Desember 1957 di kantor PM Djuanda.
Pengajuan konsepsi ini didorong oleh Chaerul Slaeh yang gusar atas lalu lalangnya kapal perang milik Belanda "DRENTE" di Laut Jawa.
Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja mendasarkan konsepsinya dari:
1. Hasil pertemuan pakar hukum internasional di International Law Commission tanggal 30 April 1949 s/d 4 Juli 1949, yang melarang lebar laut teritorial lenih dari 12 mil laut.
2. Keputusan Mahkamah Internasional dalam Sengketa Perikanan Inggris dan Norwegia tahun 1951, yang menegaskan bahwa negara2 dengan pantai menjorok atau dengan pulau2 kecil dapat menarik garis lurus dari titik terluar pantai.
3. Klaim unilateral Filipina pada tahun 1955 bahwa semua perairan di antara dan yang membentangkan pulau2 Filipina berada dalam kedaulatan Filipina.
Perjuangan Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja ini akhirnya diterima oleh masyarakat dunia dan disahkan sebagai Konstitusi Kelautan Dunia pada Konvensi Hukum Laut Ke-III tanggal 10 Desember 1982 sehingga menciptakan Hukum Laut yang baru.
Ahhh....saya bangga jadi orang Indonesia!
Ahhh....saya kepingin jadi ahli hukum maritim (mimpi dulu, hehehe....)!
(Disarikan dari tulisan Arif Havas Oegroseno di Harian Pikiran Rakyat, 14 Maret 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar