Di era klasik, "piracy" telah melewati masa keemasannya, namun era keemasan baru dianggap telah lahir kembali di Somalia setelah kejatuhan pemerintah rezim Siad Barre yang berkuasa pada tahun 1991 yang menyebabkan terjadinya perang sipil di tengah2 pemerintahan yang tidak efektif.
Terletak di lokasi strategis di tanduk benua Afrika, nelayan2 Somalia & eks milisi dalam perang sipil mulai melakukan penyergapan2 terhadap kapal2 yang melewati alur sempit yang dikenal dengan Teluk Aden.
Berdasarkan sebuah laporan dari PBB yang dirilis tahun 2006, karena ketiadaan penjaga keamanan pantai yang bekerja, perairan Somali menjadi lokasi internasional yang "free for all" & didatangi kapal2 dari belahan dunia lain untuk menangkap ikan secara ilegal. Laporan PBB lainnya menyebut +/- USD 300 juta ikan & hasil laut lainnya dicuri dari perairan Somalia setiap tahunnya.
Menurut laporan "Secure Fisheries", sejak tahun 1981 terjadi peningkatan illegal fishing 20x di perairan Somalia.
Seorang pakar "anti-piracy", John Steed, dari "Oceans Beyond Piracy", yang membantu upaya penyelamatan tawanan, serangan di perairan Somalia awalnya dilakukan terhadap kapal2 penangkap ikan ilegal yang menjadi salah satu pemicu maraknya pemicu "piracy" di Somalia. Latar belakang penangkapan ikan secara ilegal di perairan Somalia oleh kapal2 ikan asing juga dinyatakan oleh beberapa pengamat di dalam tulisan2 lainnya.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh IMB selama periode 10 tahun sejak tahun 2006 s/d 2015, statistik “piracy” yang pernah terjadi di perairan Somalia dapat dilihat sebagai berikut:
- 2006: 20
- 2007: 44
- 2008: 111
- 2009: 212
- 2010: 217
- 2011: 237
- 2012: 75
- 2013: 15
- 2014: 11
- 2015: nil
(Sumber: www.icc-ccs.org)
Salah satu peristiwa pembajakan yang termasuk spektakuler mungkin yang terjadi pada kapal berbendera Arab Saudi "SIRIUS STAR" pada tanggal 15 Nopember 2008 yang sedang membawa minyak senilai USD 100 juta. Pelaku diduga menggunakan kapal pukat sebagai "mother vessel" untuk melepaskan kapal kecil lainnya ke arah "SIRIUS STAR". Negosiasi ransom untuk pelepasan kapal berjalan selama 2 bulan & diberikan sebesar USD 3 juta dari jumlah semula yang diminta sebesar USD 25 juta.
Pembajak di Somalia umumnya dipersenjatai AK-47, pelontar granat & menggunakan kapal atau speedboat kecil untuk menyergap kapal penangkap ikan yang beroperasi secara ilegal di perairan Somalia. Kapal yang ditangkap ini kemudian dijadikan sebagai “mother vessel” untuk berlayar lebih jauh mengintai kapal-kapal niaga yang tidak dikawal dan berjalan lambat. Kapal besar yang dibajak kemudian disauhkan di perairan dekat desa yang dikuasai salah satu kelompok pembajak di Puntland sampai negosiasi ransom disepakati.
Di Somalia tidak ada pelabuhan yang memadai untuk mengakomodasi kapal-kapal cargo dan tanker moderen. Juga tidak ada infrastruktur yang memungkinkan pelaku memindahkan barang dari kapal yang dibajak untuk dijual ke pasar di kawasan. Pembajak di Somalia juga tidak dipercaya sebagai ancaman penggantian identitas kapal untuk dijual.
Jadi, bisa dibilang “piracy” di Somalia semata-mata hanya bisnis ransom.
Seiring dengan intensifnya operasi2 keamanan yang melibatkan militer dari banyak negara dan pengawalan melekat di kapal2 niaga yang melintasi Teluk Aden praktis menurunkan frekwensi serangan pembajak dari Somalia & juga mengurangi "pendapatan" para pelaku pembajakan, yang sejak tahun 2005 s/d 2012 mendapatkan nilai pembayaran ransom sekitar USD 339 – USD 413 juta, dan setelahnya terus menurun.
Tahun 2015 ke depan, ada kecenderungan baru bagi para pelaku "piracy" di Somalia yang sebelumnya sempat merasakan nikmatnya uang tebusan atau ransom, yaitu dengan menawarkan jasa sebagai pengawal bagi kapal2 penangkap ikan asing yang ingin menangkap ikan secara ilegal di perairan Somalia.
(Dirangkum dari berbagai sumber)
(Gambar courtesy to www.bussinessinsider.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar