Sehubungan dengan meningkatnya aktivitas pembajakan di perairan selatan Filipina, khususnya di Kepulauan Sulu dan sekitarnya, pemerintah akhirnya mengeluarkan instruksi untuk menghindari atau jika harus melewati perairan tersebut dilakukan pengawalan oleh kapal TNI.
(http://detak.co/presiden-jokowi-instruksikan-pengawalan-kapal-indonesia-di-perairan-filipina/)
Namun demikian otorita pelabuhan di 2 wilayah Kalimantan mengambil keputusan yang lebih tegas dengan menghentikan sementara pemberian ijin berlayar ke Filipina dari pelabuhan Tarakan dan Banjarmasin.
(http://banjarmasin.tribunnews.com/2016/04/20/syahbandar-banjarmasin-tetapkan-status-darurat-pelayaran-untuk-jalur-arah-filipina)
(http://m.beritasatu.com/nasional/360847-menhub-benarkan-bekukan-izin-pelayaran-tarakanfilipina.html)
Untuk diketahui, wilayah Asia Tenggara termasuk yang dinilai sebagai salah satu wilayah yang paling rentan pembajakan di dunia.
Meskipun Selat Malaka beberapa tahun belakangan telah menarik perhatian luar biasa, tapi salah satu wilayah di dunia yang paling dikuasai pembajak adalah perairan Selatan Filipina dan Timur Malaysia.
Berdasarkan tulisan yang dibuat tahun 2005 disebut bahwa selama lebih dari 12 tahun otoritas Filipina mencatat kurang lebih 1.300 kejadian kasus "piracy" dan "armed robbery" terhadap kapal, terutama di bagian Selatan negara tersebut dan beberapa ratus kasus lainnya dicatat oleh otoritas Malaysia terjadi di perairan Sabah.
Di Filipina sendiri, kira-kira 431 orang terbunuh selama periode tahun 1993 s/d 2004, dan 426 orang dilaporkan hilang sebagai akibat serangan pembajak.
Dari sejak akhir abad ke-18 s/d pertengahan abad ke-19, "musim pembajakan" tahunan yang dilancarkan oleh pembajak Sulu menebarkan ketakutan di masyarakat perairan Asia Tenggara, jadi tidak heran jika para pengamat Eropa menganggap "piracy" sebagai endemik di masyarakat bagian Selatan Filipina.
("The Return of Piracy: Decolonization and International Relations in a Maritime Border Region (the Sulu Sea), 1959–63", Stefan Eklöf, Working Paper No 15, Centre for East and South East Asian Studies Lund University, Sweden 2005)
Maksud pemerintah sebenarnya sudah cukup baik untuk melindungi warga negara & kepentingan pelaku usaha dengan menginstruksikan langkah2 yang sebaiknya dilakukan oleh pelaku bisnis perkapalan.
Pengusaha yang terikat kontrak penjualan dengan kolega bisnisnya di Filipina tentunya sudah menghitung ekses dihentikannya pengiriman batubara ke Filipina.
Pertanyaannya, apakah pengusaha harus menyerah dengan keadaan?
Di sinilah sebenarnya tantangan sekaligus peluang bagi para pelaku usaha perasuransian untuk memasarkan produk asuransi kerugian yang memberikan proteksi terhadap risiko pembajakan.
Masalahnya adalah apakah para praktisi asuransi sudah memahami dengan baik risiko "piracy" yang dalam kaca mata hukum internasional disebut sebagai "hostis humani generis" atau "the enemy of all mankind"?
Dalam lingkup internasional, ketika membahas "piracy" akan kita temukan juga beberapa terminologi yamg terkait dengan tindakan kejahatan di laut, antara lain: "maritime terrorism", "maritime fraud", "armed robbery".
Sementara dalam lingkup nasional, selain "Bajak Laut" akan kita temukan istilah2 "Orang Laut" dan "Raja Laut".
Bagaimana kemudian memahami & membedakan terminologi yang ada, lalu dari terminologi yang ada, apakah polis akan merespon semua kejadian atau hanya terminologi tertentu yang masuk definisi "piracy" dari kaca mata "marine insurance law"?
(Dirangkum dari berbagai sumber)
(Gambar courtesy to www.fairobserver.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar